Jumat, 14 Januari 2011

Kasus Gayus Jadi Potret Hancurnya Hukum di Pemerintahan SBY

Jakarta - Sudah tak terhitung, berapa kali Gayus Tambunan mempermalukan para penegak hukum di negeri ini. Kelakuan pegawai Ditjen Pajak ini pun menjadi potret hancurnya hukum di pemerintahan Presiden SBY. "Gayus adalah potret kebobrokan hukum negeri kita di bawah kepemimpinan Yudhoyono," ujar aktivis Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Masardi kepada detikcom, Jumat (7/1/2011). Mantan juru bicara Presiden Gus Dur ini mengatakan, lewat aksi Gayus, publik bisa dengan gamblang melihat bagaimana sebenarnya sistem administrasi dan kontrol keuangan negara kita. Dengan konspirasi yang solid dan terukur, Gayus bisa menjebol brankas negara dengan sangat mudah. Jika ingin melihat bagaimana sistem penegakkan hukum di Indonesia, publik tinggal melihat saja penanganan Gayus. Setelah mengeruk uang rakyat, Gayus memang tertangkap. Namun hukum di Indonesia, lanjut Adhie, tetap saja tidak bisa menjerat dirinya. Tiga penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim ternyata mampu dirangkai menjadi boneka oleh Gayus. Melalui kucuran uang, Gayus dengan mudah mengatur hukum Indonesia. "Dengan keleluasaan Gayus keluyuran ke luar negeri, padahal dia adalah tahanan, menambah kesempurnaan kerusakan hukum karena melibatkan petugas imigrasi," tandasnya.
Selama ditahan di Rutan Brimob, Gayus dengan leluasa keluar masuk sel dengan membayar biaya tertentu. Praktek haram ini baru berakhir setelah penyamarannya ke Bali terbongkar. Saat ini Gayus dipindahkan ke LP Cipinang sedangkan eks Kepala Rutan Brimob Kompol Iwan menjadi pesakitan di Mabes Polri. Dan kini aksi seseorang yang diduga mirip dengan Gayus kembali ramai dibicarakan. Sony Laksono, orang yang sangat mirip dengan Gayus, diketahui pernah terbang ke Macau dan Kuala Lumpur menggunakan paspor palsu. Paspor atas nama Sony Laksono dengan foto pria mirip Gayus Tambunan diendus Kemenkum HAM. Paspor itu ditengarai digunakan oleh pemiliknya untuk melancong ke Macau dan Kuala Lumpur pada September 2010 lalu. Jika benar Gayus pemilik paspor itu, dikhawatirkan tidak ada lagi zona steril korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negeri ini. "Jika benar itu Gayus, menguatkan kekhawatiran, jangan-jangan tidak ada lagi tempat yang bebas atau zona yang seteril dari KKN.
Di ranah administrasi untuk pembuatan dokumen seperti KTP atau paspor saja sudah pernuh dengan KKN, korupsi," kata Direktur Indonesian Legal Roundtable Asep Rahmat Fajar.
Berikut ini wawancara detikcom dengan pria yang juga Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan ini, hiruk pikuk dugaan Gayus Tambunan pelesir merebak lagi. Tanggapan Anda? Hiruk pikuk dugaan kepergian Gayus ke Macau dan Kuala Lumpur ini jangan sampai membuat pengusutan dan penyelesaian kasus yang terkait mafia pajak terkuburkan atau terbengkalai.
Kasus yang membuat hiruk pikuk ini harus tetap ditelusuri. Kalau yang bersangkutan (Gayus) berdalih, itu hak yang dituduh. Namun evidence yang ada kan meskipun disanggah tetapi terang. Apalagi nama Sony Laksono itu kan yang digunakan Gayus waktu ke Bali. Ini ada kaitan yang relatif terang. Itu harus ditelusuri dengan tidak mengesampingkan berbagai kasus yang sudah lebih dulu ada. Jika benar Gayus pergi ke Macau dan KL dengan paspor Sony, menunjukkan begitu bobroknya hukum kita? Jika benar itu Gayus, menguatkan kekhawatiran, jangan-jangan tidak ada lagi tempat yang bebas atau zona yang seteril dari KKN. Di ranah administrasi untuk pembuatan dokumen seperti KTP atau paspor saja sudah pernuh dengan KKN, korupsi. Ini menunjukkan Gayus banyak koneksi? Bagi saya ini menunjukkan administrasi kita, terkait pelaksanaan dan penyelenggaraan, bermasalah. Ada potensi korupsi, kolusi serta penyelewengan wewenang dan kekuasaan. Jika Gayus benar-benar pergi, Anda melihat dia menjalankan suatu misi? Yang dikhawatirkan, yang dilakukan dia itu terkait hal-hal besar. Kita nggak tahu apa yang dilakukan di Macau, apakah dalam rangka mengamankan aset dia atau menutupi berbagai hal. Kalau melihat dari fenomena itu, tidak mungkin dia sendiri. Khawatir ada pihak lain yang terlibat. Ini harus ditelusuri. Saya khawatir dia tidak sekadar jalan-jalan, mungkin lebih dari itu. Bisa jadi dia mengamankan aset atau selesaikan berbagai urusan yang penting terkait proses hukum lainnya. Apakah Anda melihat aparat terlalu fokus pada dugaan 'jalan-jalan Gayus jilid II'? Bahwa hiruk pikuk harus ditindaklanjuti itu iya. Karena ini bisa jadi untuk mendapatkan bukti baru. Jangan sampai menegasikan kasus yang selama ini terkait dengan ini. Jadi sekarang sebaiknya yang berwenang jangan hanya membuat statement, tetapi harus serius menelusuri. Jangan melupakan yang lama karena terlalu fokus di kasus yang baru. Presiden perlu turun tangan? Ya, presiden perlu turun tangan karena punya peran sentral. Turun tangannya bukan sekadar kata-kata, tapi konkret perintahkan untuk penegakan hukum. Langsung saja perintah kejaksaan, kepolisian, kementerian di bawahnya agar cepat ambil tindakan. Kalau hanya bicara tanpa perintah tidak ada gunanya. Soalnya kondisinya sudah kritis. Semua harus betul-betul komit, langsung aksi nyata. Pelajaran apa dari kasus Gayus ini? Yang pasti ada tiga. Pertama, mafia hukum sudah sistemik, seperti saya katakan tadi, jangan-jangan tidak ada zona steril KKN. Kalau ini yang terjadi, maka menjadi lebih berat tugas memberantas mafia hukum, dan karenanya upaya untuk pemberantasannya harus lebih kencang. Kedua, yang namanya aktor mafia hukum tidak hanya di ranah elit seperti pengadilan tetapi juga masuk ke administratif. Seperti itu tadi, penerbitan berbagai surat ataupun kartu yang bisa dipalsukan. Ketiga, untuk menyelesaiakan kasus-kasus semacam ini haruslah cepat. Jangan sampai proses yang lama membuat ada upaya yang sengaja dimasukkan untuk merintangi penegakan hukum sehingga penegakan hukum berjalan tertatih-tatih. Karena itu, penegakan hukum harus cepat dan berkomitmen tinggi. Kalau tidak nanti akan diganggu banyak hal. (vit/fay)
Opini Jaksa Agung, Pemberantasan Korupsi, dan Pertumbuhan
Laporan IMF tahun 2010 tentang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia menunjukkan kenaikan yang berarti bagi bangsa ini. Pasca krisis global, Indonesia dinilai berhasil dan termasuk termaju dibandingkan dengan negara lain.

Namun demikian, yang belum dapat diraih adalah bahwa justru pertumbuhan ekonomi di tingkat makro tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi di tingkat mikro. Akibatnya, pemerataan kesejahteraan tidak tercapai sehingga korupsi marak dan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) gagal. Tata kelola ini hanya dapat dicapai apabila sistem pelayanan birokrasi terhadap kepentingan publik dapat dikelola secara baik dan benar serta bebas KKN. Solusi untuk mencapai kemajuan tersebut salah satunya adalah diterapkannya sistem online di dalam sektor pelayanan publik.
Sistem online telah berhasil menghapuskan KKN di birokrasi, seperti telah berhasil dilaksanakan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dengan sisminbakum. Peringkat Indonesia mencapai urutan ke 44, naik signifikan 10 peringkat pada tahun 2010. Sistem pelayanan online memang memerlukan anggaran yang sangat tinggi dan kualitas teknologi yang memadai, namun dapat diatasi dengan sistem outsourcing penuh dan bekerja sama dengan pihak swasta, mengingat keterbatasan APBN. Dibangunnya sistem online dalam sisminbakum bermula dari kerisauan investor dalam negeri dan asing yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di Tanah Air, namun memiliki ketidakpercayaan (distrust) yang sangat tinggi terhadap integritas, akuntabilitas dan profesionalisme aparatur penegak hukum.
Akibatnya, sering terjadi ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan juga tidak mencerminkan tujuan kemanfaatan. Dalam praktik penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi justru terjadi ketimpangan atas ketiga tujuan tersebut, bahkan tujuan memupuk keuntungan pribadi atau kelompok lebih diutamakan sehingga terjadi pelanggaran hukum dan kode etik profesi yang menghapuskan objektivitas dan akuntabilitas profesionalisme sesuai dengan kaidah undang-undang. Pola yang sudah membaku dalam praktik penegakan hukum saat ini mirip dengan ucapan terkenal, “Le etat cest moi” (ucapanku adalah hukum) di mana hak asasi warga negara diabaikan, protes sosial dilawan melalui kolaborasi dengan pers yang tidak bertanggung jawab, kolaborasi dengan pengacara dan pengusaha hitam.

Berbagai perilaku ini tampak transparan dan tidak sungkan-sungkan sehingga kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi, malah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Untuk mengembalikan situasi menjadi lebih bersih dan bebas KKN, pembentukan Satgas Mafia Hukum bukanlah satu-satunya solusi. Momentum pergantian Jaksa Agung merupakan kesempatan terbaik untuk membalikkan citra negatif pelaku ekonomi nasional dan asing terhadap implementasi penegakan hukum yang lemah. Pelaku ekonomi sangat mengharapkan Jaksa Agung yang baru nantinya sensitif terhadap fluktuasi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal ini pun sesuai dengan tujuan pembangunan hukum yang telah dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 yang menegaskan: ”Pembangunan hukum (termasuk penegakan hukum––pen) diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi terutama dunia usaha dan dunia industri serta menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi terutama perlindungan hukum.”
Sosok Jaksa Agung yang cocok dengan tujuan pembangunan hukum di atas adalah mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan luas tentang peta politik ekonomi nasional dan internasional, selain pengetahuan teoritik dan pengalaman praktik penyelidikan, penyidikan dan penuntutan khususnya dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi. Tampaknya tipe ideal di atas sulit diwujudkan siapa pun karena pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Inpres itu salah satunya menyatakan bahwa sektor pembangunan di bawah koordinasi Menko Polhukam dan salah satu bidang tugasnya ialah pemberantasan korupsi.
Inpres tersebut telah menetapkan target keberhasilan pemberantasan korupsi yaitu sebanyak 1.700 perkara sampai dengan akhir Desember 2010 kepada Kejaksaan Agung. Sistem target dalam praktik lebih banyak mudaratnya karena terkesan Jaksa Agung memaksakan bawahannya mencapai target tersebut. Bahkan jika tidak mencapai jumlah target perkara tertentu, Kajari yang bersangkutan akan terhambat kariernya untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi. Dampak negatif dari sistem ini adalah ekses ”overkriminalisasi” perkara korupsi.Sehingga,muncul perkara dengan nilai hanya satu juta rupiah bisa sampai kasasi.
Selain itu, sistem target juga menyebabkan diskresi penyidik korupsi menjadi lebih besar dan leluasa untuk menetapkan peningkatan penyelidikan kepada tahap penyidikan dan penetapan tersangka, apalagi melibatkan tersangka yang memiliki status sosial tinggi atau jabatan politik. Sistem target dengan ekses negatif di atas terbukti tidak memberikan kontribusi signifikan untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik, terutama pelaku ekonomi untuk melakukan investasinya di Indonesia. Semua ekses negatif akibat sistem target dalam pemberantasan korupsi hanya dapat diatasi oleh Jaksa Agung yang memahami perencanaan pembangunan ekonomi nasional dan target pencapaiannya.
Selain itu, sebaiknya sistem target tersebut dievaluasi kembali karena banyaknya ekses negatif yang tidak diperkirakan sebelumnya. Adalah benar pendapat Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum dan juga penegakan hukum harusnya menjadi sarana menciptakan kesadaran hukum masyarakat secara luas, bukan alat (kekuasaan) semata-mata untuk mendukung pembangunan nasional. Karena itu, Jaksa agung yang baru nantinya tidak hanya memiliki integritas dan akuntabilitas semata-mata melainkan juga calon-calon yang dapat membedakan maslahat dan mudarat tindakan hukum aparaturnya bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Untuk membantu mewujudkan hal ini, diperlukan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu menghapuskan unsur kerugian (keuangan) negara vide Pasal 2 dan Pasal 3, digantikan dengan larangan menerima gratifikasi oleh penyelenggara negara, larangan perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), larangan penggelapan harta kekayaan negara sekecil apapun nilainya, larangan suap bagi penerima (suap pasif) dan pemberi (suap aktif). Semua larangan atas perbuatan tersebut merupakan strategi pencegahan yang andal tanpa perlu menimbulkan gejolak sosial yang tidak perlu. Strategi tersebut harus diperkuat pola perampasan aset dalam tindak pidana pencucian uang.
Semua larangan tersebut hanya akan berlaku efektif jika laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHKPN) segera ditindaklanjuti klarifikasi oleh divisi pencegahan KPK dengan menggunakan teknologi modern tanpa perlu menunggu terjadi kasus pada penyelenggara negara yang bersangkutan. Kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi saat ini seharusnya dialihkan dari penindakan kepada strategi pencegahan, yaitu dengan memperkuat ketegasan dan komitmen aparatur hukum dan presiden dalam implementasi perbuatan yang dilarang tersebut di atas.
Saat ini dalam agenda legislasi Tahun 2010/2011 telah dipersiapkan rancangan undang-undang tentang perampasan aset tindak pidana, suatu UU yang diharapkan memperkuat strategi penindakan dari pada pencegahan dengan tujuan utama merampas dan mengembalikan aset negara yang hilang karena tindak pidana korupsi. Sudah saatnya politik hukum pemberantasan korupsi dititikberatkan pada strategi pencegahan yang harus dilaksanakan secara konsisten dan tanpa campur tangan pihak manapun. Strategi itu perlu diperkuat dengan perampasan aset hasil tindak pidana atas dasar hukum acara pembuktian terbalik murni terhadap aset-aset yang diduga kuat (sekurang-kurangnya dua alat bukti) adalah hasil tindak pidana melalui tuntutan secara keperdataan.
Strategi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dibandingkan dengan strategi penindakan dengan cara penghukuman dan pengembalian kerugian keuangan negara secara kumulatif––yang terbukti lebih banyak mudarat dari maslahatnya––kecuali hanya sekadar merupakan tontonan dalam “selebrity show” saja. Bahkan secara kuantitatif, rasio antara uang negara yang dikembalikan jauh lebih kecil dan tidak signifikan dari anggaran negara yang telah dikeluarkan untuk memburu uang negara dengan segala fasilitas yang diperlukannya.
Kondisi ini diperparah dengan praktik penegakan hukum yang selektif dan diskriminatif yang semakin jauh dari kepastian hukum, keadilan dan juga kemanfaatannya. Negara ini ke depannya memerlukan Jaksa Agung yang berani melakukan langkah-langkah strategi pencegahan progresif yang meningkatkan kemaslahatan bagi bangsa ini daripada mempertontonkan “keberhasilan semu dan bias” yang bersifat kontraproduktif untuk pembangunan ekonomi nasional.(*)
Bermunculannya makelar kasus hukum dan pajak, bukan semata-mata disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Minimnya impelementasi akibat terlalu banyaknya aturan, dianggap sebagai cikal bakal menjamurnya makelar kasus.
“Tinggal implementasi. Intinya hukum kita belum efektif, penegakan hukumnya belum diterapkan sehingga tidak membuat jera pelakunya. Over regulasi, karena banyak sekali aturan yang dibuat,” jelas ahli hukum pajak Universitas Indonesia Tri Hayati.

Penegakan hukumnya, kata Tri, harus dikembalikan ke Polri dan lembaga hukum lainnya. Meskipun Tri mengakui, Indonesia sebagai negara berkembang, salah satu cirinya adalah penegakan hukum yang sangat lemah dalam berbagai aspek, tak terkecuali bidang pajak. "Kelemahan sudah di struktural, artinya birokrasinya yang harus dirombak termasuk struktur sistemnya," terang dia. Mengenai menggejalanya makelar kasus pajak, menurut Tri, pegawai-pegawai Dirjen Pajak memang mulai memanfaatkan celah hukum yang ada. "UU Pajak dengan banyak perubahan dan turunannya bikin multitafsir dan membingungkan," katanya. Selain itu, aturan pelaksanaan yang sangat dinamis menyebabkan penyimpangannya cukup besar. Banyak aturan pelaksana yang melanggar asas. Bahkan, ada aturan Menteri atau Dirjen Pajak yang melebihi UU. Inilah yang dimanfaatkan para pengemplang pajak, dan KKN orang dalam. "Ada keputusan Dirjen Pajak yang justru membuat kebijakan pemutihan bagi pengemplang pajak. Ini benar-benar merugikan uang negara karena masuk penggelapan," ungkap dia.
Dalam pandangan guru besar hukum pajak UI ini, tidak hanya di instansi hukum dan pajak saja yang rentan mafia, bahkan hingga lembaga paling bawah sekalipun rawan dimanfaatkan markus. Hal ini, kata Tri, kembali pada lemahnya pengawasan.
Menurut Tri, adanya sindikasi di perpajakan yang sudah menjadi rahasia umum, hampir separuh uang pajak habis dimakan mafia. "Uang pajak ini bocornya hampir separuh," paparnya.
Pengawasan seperti apa? “Kembali lagi, interen inspektorat jendral, interen, eksteren juga bisa menembus masuk, mafia pajak bahaya benar. KPK, BPK, juga harus tembus,” pungkasnya.
(ded)

KESIMPULAN

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia sepertinya sudah mendarah daging dengan hampir semua aparatur negaranya, tidak hanya dari kalangan rendah institusi pemerintahan saja bahkan menjalar ke sektor elite pemerintahan, dimana standar gaji yang mereka dapatkan sangatlah tidak sesuai dengan sumbangsih pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan pelayanan yang lebih baik daripada pelayanan yang berjalan selama ini. Moral yang sudah rusak selama ini hendaklah dapat lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah di Indonesia, tapi bukan hanya untuk diperhatikan saja melainkan diurusi hingga tuntas dan bangsa ini dapat merasakan keadilan bagi dirinya. KKN dapat diselesaikan dengan membangun akhlak dari setiap individu yang selama ini telah merusak sistem yang ada didalam pemerintahan kita selama ini.

TUGAS SOSPOL VI

BIROKRASI DI NEGARA MAJU, NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MISKIN

A. Pengertian Birokrasi

Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalisme, dan profesionalisme.

Berikut ini beberapa pengertian tentang birokrasi oleh beberapa ahli :

 Micheal Crozier Birokrasi adalah pemerintahan oleh sejumlah biro, yakni “pemerintah oleh sejumlah departemen negara yang di isi oleh sejumlah staff yang ditunjuk dan bukan di pilih secara hierarkis dan keberadaannya tergantung pada otoritas yang mutlak.

 Heady (1991) Birokrasi sebagai suatu fenomena yang berhubungan dengan organisasi yang kompleks dan berskala besar yang mempunyai karakteristik tertentu.

 Weber (1992) Birokrasi merupakan rasional kegiatan yang kolektif.

B. Birokrasi Di Negara Maju.

Pada negara maju birokrasi akan menjadi sangat terspesialisasi pada setiap tingkatan/level. Ini merupakan cerminan dari beragamnya aktifitas pemerintah serta kemampuan teknis yang diperlukan untuk mengimplementasikan berbagai program pembangunan pada masyarakat yang lebih modern.

Birokrasi negara maju akan menunjukan pada titik tertentu sebuah tingkat keprofesionalan yang tinggi, baik untuk mengidentifikasi maupun melayani berbagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Karena sistem politik di negara maju secara keseluruhan sudah stabil dan matang, serta birokrasi sudah sangat berkembang, maka peran birokrasi pada proses-proses politik sudah jelas dan teratur dan berada dibawah kontrol yang efektif dari lembaga-lembaga politik yang secara fungsional menangani hal tersebut.

Birokrasi Perancis

Hal unik pada birokrasi perancis adanya administrator super elit, terdiri dari anggota-anggota berbgai kelompok yang terkenal dengan nama the grands corps. Anggota-anggota kelompok ini sangat terbatas dan eksklusif. Kelompok-kelompok elit ini mempunyai keahlian dan yurisdiksi khusus pada bidang masing-masing. Meskipun demikian, birokrat-birokrat senior yang memiliki jabatan tinggi masih memiliki kecenderungan untuk melakukan fungsi-fungsinya secara sentralistik.

Karakteristik utama dari Birokrat elit di prancis adalah mereka menganggap diri mereka sebagai anggota dari sebuah kelompok dan mengasosiasikan dirinya dengan negara. Birokrat-birokrat tingkat tinggi tersebut melihat dirinya sendiri dan dilihat oleh masyarakat lebih sebagai pejabat negara dari pada pelayan masyarakat.

C. Birokrasi Di Negara Berkembang

Birokrasi di kebanyakan negara berkembang cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol karena orientasi dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.

Ciri dari birokrasi negara berkembang, yaitu:

Pertama,
Administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik.

Kedua,
Birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi kuantitas.

Ketiga,
Birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat.

Keempat,
Ditandai adanya formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi.

Kelima,
Birokrasi di negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. Dari sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah.

Birokrasi Indonesia

Gejala umum yang terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah besarnya aparatur birokrasi tetapi kurang memiliki keahlian yang memadai, bekerja kurang produktif dan tidak efisien. Sebenarnya luasnya tugas birokrasi pada pemerintah sebagai hal yang wajar, hanya perlu diimbangi dengan kemampuan yang memadai dari aparatur birokrasi. Sektor swasta juga belum banyak berperan dalam kegiatan pembangunan sehingga peran pemerintah lebih dominan.

Pada periode kemerdekaan, terjadi perubahan yang mendasar di mana pola perilaku birokrasi pemerintah dikritik karena dianggap tidak demokrasi atau feodalistik. Keinginan untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang sangat dihormati sudah mulai berkurang.

Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya. Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan.

D. Birokrasi Di Negara Miskin

Di Negara miskin, birokrasi menciptakan kelas secara otomatis. Karena budaya korup , maka orang miskin yang tak bisa menyuap akan kehilangan akses legitimasi harta. Sementara yang bisa menyuap akan mendapatkan akses tak terbatas dibidang perekonomian. Itulah sebabnya dalam bukunya The Other Path, de Soto menyimpulkan bahwa kaum miskin dalam keadaan ’terkunci’ sehingga tetap berada di luar hukum. Segala jenis aset ekonomi mereka dalam berbagai bentuknya tidak dapat diubah menjadi kapital yang diperlukan untuk kegiatan ekonomi. Sangat menyedihkan sebagai bentuk penjajahan cara baru yang systematis.

Birokrasi Bangladesh

Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian besarnya miskin dan perekonomian negara yang lemah, membuat negara ini menjadi wilayah yang rentan konflik dan rentan akan masalah kemiskinan. Apalagi dengan melihat penduduk Bangladesh yang kebanyakan berada di daerah pegunungan dan bersuku-suku yang membuat komunikasi dan akses informasi menjadi lebih sulit. Birokrasi yang tercipta di negara bangladesh adalah birokrasi yang menciptakan kelas secara otomatis. Birokrasi yang tercipta sangat rentan akan pengaruh perekonomian yang terpuruk.


Kesimpulan dan Analisis:

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan dan analisis bahwa terdapat perbedaan dalam praktek birokrasi antar negara maju, berkembang dan miskin. Di negara maju birokrasi sudah tercipta secara mapan, hal ini dikarenakan sistem politik di negara maju secara keseluruhan sudah stabil dan matang, serta birokrasi sudah sangat berkembang. sedangkan dinegara berkembang birokrasi masih cenderung di politisir oleh kepentingan-kepentingan politik. Sedangkan di negara miskin birokrasi menciptakan kelas secara otomatis, hal ini di karenakan perekonomian yang masih terpuruk. Dari ketiga birokrasi diatas, yang paling baik digunakan adalah birokrasi di Negara maju. Karena di Negara maju birokrasi dan politk sudah memiliki pemishan tugas yang jelas, sehingga berakibat pada peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat.

Kamis, 02 Desember 2010

Tugas Tulisan I SOSPOL

PERUBAHAN SOSIAL

BAB I

PENDAHULUAN


A.Latar Belakang

William F. Ogburn dalam Moore (2002), berusaha memberikan suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Menurut Soekanto (1990), penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana perubahan sosial terjadi dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan social tersebut.

C.Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial terjadi dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan sosial tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen, tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang bersifat formal.
Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :
1. Faktor alam
2. Faktor teknologi
3. Faktor kebudayaan
Kalau ada perubahan daripada salah satu faktor tadi, ataupun kombinasi dua diantaranya, atau bersama-sama, maka terjadilah perubahan sosial. Faktor alam apabila yang dimaksudkan adalah perubahan jasmaniah, kurang sekali menentukan perubahan sosial. Hubungan korelatif antara perubahan slam dan perubahan sosial atau masyarakat tidak begitu kelihatan, karena jarang sekali alam mengalami perubahan yang menentukan, kalaupun ada maka prosesnya itu adalah lambat. Dengan demikian masyarakat jauh lebih cepat berubahnya daripada perubahan alam. Praktis tak ada hubungan langsung antara kedua perubahan tersebut. Tetapi kalau faktor alam ini diartikan juga faktor biologis, hubungan itu bisa di lihat nyata. Misalnya saja pertambahan penduduk yang demikian pesat, yang mengubah dan memerlukan pola relasi ataupun sistem komunikasi lain yang baru. Dalam masyarakat modern, faktor teknologi dapat mengubah sistem komunikasi ataupun relasi sosial. Apalagi teknologi komunikasi yang demikian pesat majunya sudah pasti sangat menentukan dalam perubahan sosial itu.

A.Proses Perubahan Sosial
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.
Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memaaukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.
Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.
Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan. Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural.

B.Penyebab Perubahan Sosial
1.Dari Dalam Masyarakat
Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk ini meliputi bukan hanya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau sebaiiknya, tetapi juga bertambah dan berkurangnya penduduk
Penemuan-penemuan baru (inovasi)
Adanya penemuan teknologi baru, misalnya teknologi plastik. Jika dulu daun jati, daun pisang dan biting (lidi) dapat diperdagangkan secara besar-besaran maka sekarang tidak lagi.
Suatu proses sosial perubahan yang terjadi secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sering disebut dengan inovasi atau innovation. Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian Discovery dan Invention
Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan baru baik berupa alat ataupun gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.
Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui dan menerapkan penemuan baru itu.
Pertentangan masyarakat
Pertentangan dapat terjadi antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok.
Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi
Pemberontakan dari para mahasiswa, menurunkan rezim Suharto pada jaman orde baru. Munculah perubahan yang sangat besar pada Negara dimana sistem pemerintahan yang militerisme berubah menjadi demokrasi pada jaman refiormasi. Sistem komunikasi antara birokrat dan rakyat menjadi berubah (menunggu apa yang dikatakan pemimpin berubah sebagai abdi masyarakat).
2.Dari Luar Masyarakat
Peperangan
Negara yang menang dalam peperangan pasti akan menanamkan nilai-nilai sosial dan kebudayaannya.
Lingkungan
Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, dll yang mengakibatkan penduduk di wilayah tersebut harus pindah ke wilayah lain. Jika wilayah baru keadaan alamnya tidak sama dengan wilayah asal mereka, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan di wilayah yang baru guna kelangsungan kehidupannya.
Kebudayaan Lain
Masuknya kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan.

C.Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial
1.Faktor-faktor Pendorong
Intensitas hubungan/kontak dengan kebudayaan lain
Tingkat Pendidikan yang maju
Sikap terbuka dari masyarakat
Sikap ingin berkembang dan maju dari masyarakat
2.Faktor-faktor Penghambat
Kurangnya hubungan dengan masyarakat luar
Perkembangan pendidikan yang lambat
Sikap yang kuat dari masyarakat terhadap tradisi yang dimiliki
Rasa takut dari masyarakat jika terjadi kegoyahan (pro kemapanan)
Cenderung menolak terhadap hal-hal baru

D.Dampak Akibat Perubahan Sosial
Arah perubahan meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya.
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.
Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.
Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan kompleks.

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada pembahasan maka kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :
1.Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
2.Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi.
3.Perubahan sosial selalu menimbulkan perubahan dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negative dari sisi positif misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati seluruh kelompok sosial masyarakat.

B.Saran
Perubahan sosial dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, olehnya itu kita sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha mengendalikan perubahan itu ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari perubahan sosial dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.


DAFTAR PUSTAKA

Aris Tanudirjo, Daud. 1993. Sejarah Perkembangan Budaya di Dunia dan di Indonesia. Yogyakarta:Widya Utama

Gumgum Gumilar, 2001. Teori Perubahan Sosial. Unikom. Yogyakarta.

Soekmono, R.tt. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta:Kanisius

Suyanto, 2002. Merefleksikan Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Kompas, 17 Desember 2002, hal. 5.

http://jibis.pnri.go.id/informasi-rujukan/indeks-makalah/thn/2007/bln/03/tgl/29/id/1002

http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya

Rabu, 01 Desember 2010

TULISAN II SOSPOL

DEMOKRASI LOKAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI INDONESIA

Berikut ini adalah proses pemilihan pemimpin di daerah :
1. Apa yang dilakukan oleh partainya?
2. Apa peranan dari partainya dan kelompok kepentingan sampai pada tahap pengambilan suara?

Pelaksanaan demokrasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu demokrasi langsung dan perwakilan dan secara hirarkhi negara terdapat demokrasi tingkat nasional dan lokal. Di Indonesia pada masa eforia politik da satu sisis dan ketidak percayaan rakyat pada elit politik menjadikan proses rekrutmen mengarah pada demokrasi langsung, termasuk pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan fenomena kenegaraan baru di Indonesia. Hal ini menyusul pemilihan elit eksekutif nasional yang juga dilakukan secara langsung. Pilkada langsung pertama kali akan dilakkan di 224 pemerintah daerah di Indonesia, sehinga segala hal yang melandasinya perlu dibahas dengan seksama. Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hubungan negara dan rakyat dalam bingkai demokrasi lokal, asas desentralisasi dan proses kebijakan publik dan partisipasi politik rakyat daerah. Dari pelakasanaan komponen-komponen tadi kita akan melihat beberapa buka ke depan bagaimana pesta demokrasi lokal di negara Indonesia akankah terjadi perkembangan reformasi politik lokal atau hanya an old one in a new bottle.

A. Pendahuluan
Hubungan antara pemerintahan (state) dengan warga negara/rakyat (society) selalu berada dalam bingkai interaksi politik diantara keduanya dalam wujud organisasi negara. Hubungan state and society ini dapat tergambarkan dalam icon yang diberi label demokrasi. Sejak lama, sebagai gambaran besar, demokrasi menjadi cara terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern. Demokrasi yang dimaksud merupakan instrumen universal, namun juga memiliki karakteristik ideografis dalam hal-hal tertentu. Misalnya kita akan menemukan adanya demokrasi liberalis, demokrasi sosialis dan bahkan demokrasi Pancasila. Sementara dalam hirarkhi suatu negara jangkauan pengaruh, kita bisa merujuk pada dua jenis atau kelompok demokrasi, yaitu demokrasi dalam lingkup negara dan demokrasi lokal.
Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan demokrasi dalam tataran lokal pada ranah ideografis Indonesia dengan memfokuskan diri pada fenomena pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam tulisan ini akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan: demokasi lokal, asas desentralisasi, kebijakan publik, pemilu kepala daerah langsung , dan pertisipasi politik di Indonesia.

B. Demokrasi Lokal
Demokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarkhi kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya, akan terdapat sistem politik nasional yang didalamnya terdapat sub sistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya. Pemilahan demokrasi lokal ini bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Dalam tulisan ini demokrasi lokal ditujukan sebagai bagian utuh dari demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaan rekrutmen elit politik di pemerintahan daerah.
Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya berada dalam koridor pemerintahan daerah. Di Indonesia Demokrasi lokal merupakan subsistem dari demokrasi yang memberikan peluang bagi pemerintahan daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah dengan rakyat di lingkungannya.
Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demorasi langsung. Sehingga tidak mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung. Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD2. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia. Rekrutmen politik skala nasional ini merupakan perkembangan demokrasi yang mendapat pengakuan dunia karena keberhasilannya.
Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan rekrutmen poltik dalam tataran demokrasi ini, pada tahun 2005 ini akan juga melakukan proses rekrutmen politik elit daerah sebagai kelanjutan dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang talah melahirkan pasangan pemimpin politik berbasis legitimasi rakyat, yaitu Bapak Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla. Pemilihan Kepala daerah merupakan proses demokrasi yang akan menyetarakan legitimasinya dengan keberadaan DPRD yang telah dipilih secara langsung.
Demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah, menjadi momentum yang masih memberikan pertanyaan besar dalam pelaksanaannya. Pertanyaan ini berkaitan dengan demokrasi partisipatoris3 yang akan dilakukan. Betapa tidak, pemberian kedaulatan rakyat daerah pada elitnya masih diwarnai ketidakjelasan, baik dari prosdur kerja penyelenggara maupun peserta dan posisi pemilihnya.
Dari sisi kedaulatan rakyat daerah, demokrasi lokal dibangun untuk memberikan porsi yang seharusnya diperoleh rakyat lokal dalam pemberian legitimasi pada elit eksekutifnya. Selama ini rakyat daerah memberikan kedaulatan hanya pada legislatif daerah saja--melalui pemilu legislatif. Maka merujuk pada konsep trias politica-nya Montesquieu4 pemisahan kekuasaan atas tiga lembaga negara untuk konteks pemerintahan daerah terletak pada lembaga eksekutif dan legislatif daerah, sedangkan dalam kerangka yudikatif menginduk pada kelembagan pusat. Hal ini terkait dengan pola hubungan pemerintahan pusat daerah dalam asas desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem pemerintahan dapat dibagi kedalam hirarkhi demokrasi nasional dan lokal dari tata cara rekrutmen politiknya.
Ketidakpercayaan rakyat dan era reformasi mendorong adanya pilkada langsung. Hal ini tidak langsung berkatan dengan baik atau tidaknya demokrasi, karena di negara lain uga terdapat variasi pelaksanaan demokrasi baik yang langsung, perwakilan bahkan dengan appointment. Derajat kepentingannya adalah terpilihnya pejabata politik yang akuntabel sesuai dengan needs for achievment rakyatnya

C. ASAS DESENTRALISASI
Desentralisasi merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan5 yang bertujuan untuk sharing power dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dekat dengan rakyatnya. Sementara itu, Cornelis Lay (2003) menyatakan bahwa dengan desentralisasi pengaturan politik dan pemerintahan yang stabil dapat dilakukan. Dengan desentralisasi dapat diakomodasi sharing of power, sharing of revenue, dan penguatan lokalitas, selain pengakuan dan penghormatan terhadap identitas daerah6. Berkaitan dengan sharing of power maka pemberian desentralisasi secara devolusi menjadi penting. Apalagi dalam era reformasi ini yang akan memunculkan pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah.
Desentralisasi merupakan bentuk hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang pada umumnya memiliki dua bentuk yaitu: Debvolusi dan dekonsentrasi. Dalam ideografis Indonesia kita pernah mengenal asas tugas pembantuan atau medebewind sebagai bagian dari desentralisasi. Berdasarkan ranah politik pemerimtahan maka desentralisasi yang berkaitan dengan otonomi penyelengaraan pemerintahan di daerah adalah devolusi. Sementara dekonsentrasi masih merupakan kepanjangan tangan kebijakan pusat di daerah.7
Asas desentralisasi ini memberikan peluang bagi daerah untuk dapat mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam bingkai sistem negara kesatuan. Dengan asas ini pula secara garis besar rekrutmen, responsibilitas dan akuntabilitas politik dapat dilaksanakan dan bersifat final di pemerintahan daerah.
Berdasarkan asas desentralisasi hubungan rakyat dan pemerintahan daerah berada dalam koridor demokrasi daerah. Pelibatan pemerintahan daerah dalam mengurus kewenangannya merupakan keleleuasaan yang bertujuan untuk pengembangkan demokrasi daerah dan pembangunan daerah yang pada gilirannya mengarah pada kesejahteraan rakyat di wilayah kerja daerahnya.
Dalam perkembangannya asas desentralisasi yang berbentuk devolusi telah mengalami perubahan yang mendasar. Salah satu contoh yang sekatrang menjadi isu nasional adalah tentang pemilihan kepala daerah baik di pemda propinsi maupun pemda kabupaten dan kota. Berdasarkan Undang-undang no 5 tahun 1974 rekrutmen eksekutif daerah berada di legilslatif daerah dengan masih ada intervensi dari pemerintah pusat. Berdasarkan undang-undang no 22 tahun 1999, kepala daerah dipilih oleh legislatif daerah secara mandiri8. Dan pada perkembangan terkhir berdasarkan undang-undang no 32 tahun 2004, pemilihan eksekutif daerah didasarkan pada demokrasi lokal partisipatif, dimana rakyat daerah yang bersangkutan melakukan pemilihan secara langsung. Sementara itu pelaksana atau penyelenggara pemilu yang berdasarkan dua undang-undang pemerintahan daerah terdahulu berada dalam legislatif daerah, untuk pemilu eksekutif daerah yang akan dilaksanakan pada tahun 2005 ini berada di Komisi Pemilihan Umum Daerah yang bertangung jawab pada legislatif daerah. Dalam hal ini terdapat lompatan besar dalam rekrutmen eksekutif daerah.
Semangat desentralisasi telah bergerak dari seputar lingkaran pemerintah pusat dan legislatif daerah ke arah rakyat daerah yang berdaulat. Tentunya lompatan ini harus diimbangi dengan format pelaksanaan yang jelas baik secara politik, hukum maupun adminstrasi negara. Kenapa demikian? Hal ini berkaitan dengan tingkat kerawanan dan tantangan yang begitu besar dalam melakukan pemilu eksekutif lokal secara langsung. Konflik yang akan muncul juga akan semakin kompleks dari pemilu presiden dan wakil presiden. Sehingga payung hukum, politik dan administrasi negara menjadi penting. Ada kegelisahan dalam memaknai desentralisasi secara tersendiri apabila pada tahun 2005 ini terjadi hal yang merugikan asas ini. Terdapat sekitar 224 pasangan eksekutif daraih yang akan dipilih langsung, tentunya perlu penanganan yang baik, sehingga tidak terjadi shifting dari major descentralisation ke arah major deconsentration atau bahkan memunculkan resentralisasi sebagai sisi ekstrim dari desentralisasi.

D. KEBIJAKAN PUBLIK
Pemilihan Kepala daerah dan wakil kepala daerah ini merupakan produk politik pemerintahan pusat dalam bentuk kebijakan publik. Membahas kebijakan publik secara langsung tentang produk politik pemilihan eksekutif daerah ini tidak akan pernah ditemukan. Kenapa demikian? Karena dalam proses pembuatan kebijakan publik di tingkat nasional pemilu sebagai produk politik berada pada undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilu dan undang-undang no 23 tahun 2003 tentang pemilihan presiden. Sementara pemilihan kepala eksekutif daerah itu berada pada Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Memang benar menurut kajian kebijakan publik semua produk kebijakan yang sudah melalui tahapan-tahapan formal kebijakan yang berlaku, setelah menadapat penetapan dan dimuat dalam lembataran negara dan tambahan lembaran negara menjadi sah secara hukum positif untuk dilaksanakan. Namun demikian, dalam kerangka politik yang secara mendasar mengarah pada esensi demokrasi, hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang krusial. Seperti contohnya muncul pertanyaan tentang kemandirian penyelenggara pemilu, dan yang lainnya. Disamping itu berkaitan dengan sistem pemerintahan dalam format desentralisasi dan sentralisasi terdapat pertanyaan tentang hasil kebijakan publik yang kontradiktif terutama dalam pertanggungjawaban pelaksana pemilu dalam hal ini KPUD dengan legislatif daerah. Terdapat kehawatiran lain berkaitan dengan sinyalemen intervensi pemerintah pusat melalui struktur lembaganya dalam prosedur pelaksanaan pilkada langsung ini.9
Bila dilihat dari tahapan pembuatan kebijakan publik di Indonesia, khususnya dalam pembuatan undang-udang no 32 tahun 2004, kita bisa melihat adanya ketergesaan dalam pembahasannya sehingga hasilnya banyak dipertanyakan. Salah satu pertanyaan mendasar adalah pembuatan rancangan undang-undang itu tertutup dan kurang melibtakan komponen masyarakat terkait.
Menurut Ibnu Tricahyo dari PP Otoda dalam Pembekalan anggota DPRD Kabupaten Malang memaparkan bahwa RUU perubahan undang-undang 22 tahun 1999 dengan undang-undang 25 tahun 1999, DPR baru melakukan usul melalui hak inisiatifnya kepada Presiden pada tanggal 9 pebruari 2004. Kemudian pada tahapan berikutnya Pemerintah mengajukan ke RUU yang diminta oleh DPR melalui hak inisiatifnya pada bulan mei 2004. Salah satu pokok pembahasan dari RUU pemerintahan daerh adalah berkaitan dengan pemilihan kepala daerah langsung berdasarkan amanat amandemen UUD 1945 bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.
Tahapan berikutnya langsung terjadi proses formal tahapan pembuatan kebijakan publik di DPR dengan membentuk panitia khusus (pansus) dan juga dibentuk panitia kerja (panja). Ke dua panitia ini bekerja untuk membahas dua RUU perubahan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Pada bulan september 2004 ke dua RUU tersebut disetujui DPR dan pada bulan berikutnya, Oktober 2004 disahkan oleh Presiden.10 Tidak ada penyimpangan prosedur dalam tahapan internal pembuatan kebijakan publik, tetapi warna demokratis dalam pembuatan kebijakan dan singkatnya waktu pembahasan merupakan titik kelemahan dalam pembuatannya. Kita sudah mengetahui bahwa di akhir masa kerja DPR begitu banyak RUU yang masih perlu dituntaskan, dan dua RUU ini merupakan salah satu prioritas yang harus selesai sebelum habis masa kerja dewan.
Dalam kajian kebijakan Publik tahapan pembuatan rancangan baik oleh eksekutif maupun legislatif seharusnya melibatkan stakholder dalam kebijkan publik tersebut, namun kenyataannya hal ini jarang sekali dilakukan sehingga kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan kebijkan tersebut sangat sulit untuk mendapatkan akses informasi perkembangannya. Berkaitan dengan RUU perubahan UU No. 22 tahun 1999, dengan sangat terbatas rancangan yang berasal dari eksekutif, legislatif dan dari kalangan LSM bisa diakses. Kemudian ketika memasuki tahapan formal juga terjadi hal yang serupa. Sehingga sinyalemen Ibnu yang menganggap pembahasan kebijakan ini tidak rasional dan cenderung instan dapat dibenarkan.
Selain itu juga ketika pembahasan itu dilakukan Dewan Perwakilan Daerah sudah terbentuk sebagai hasil pemilu tahun 2004, tetapi mereka tidak dilibatkan di dalamnya padahal kebijkan publik tersebut menyangkut salah satu kewenanggannya. Asosiasi pemerintah daerah maupuin eksekuit daerah juga tidak secara optimal diberikan akses, apalagi kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat yang sebenarnya perlu mengikuti tahapan-tahapan dalam pembahasan rancangan.
Memang benar secara formal tahapan-tahapan kebijakan publik sudah dilakukan secara prosedural, namun denmikian dengan waktu yang terbatas dan kurang melibatkan lembaga negara baru tersebut merupakan kelemahan tersendiri. Ada kecenderungan untuk menyelesaikan sekian banyak RUU dalam sisa masa kerja DPR pada waktu itu.

E. PILKADA LANGSUNG
Berdasarkan pembahasan terdahulu, pemilu eksekutif daerah ini berada dalam koridor demokrasi lokal dalam lingkup asas pemerintahan—desentralisasi dan didasaraan pada rel kebijakan publik UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan Kepala daerah langsung merupakan fenomena baru dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Sepanjang sejarah pemerintahan, baru sekarang ini akan dilaksanakan pilkada seara langsung yang selama tahun 2005 akan melibatkan 16 pemda Propinsi dan 118 pemda Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia. Melihat begitu banyaknya pemerintah daerah yang akan melaksanakan pilkada tersebut, maka akan menjadi sangat penting bagi semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaannya untuk memiliki persepsi yang sama, sehingga tahun 2005 ini bisa dijadikan tonggak demokrasi lokal di Indonesia. Akan sangat riskan ketika dalam pelaksanaan di 224 pemerintahan daerah itu terjadi konflik atau permasalahan yang akan merusak dan berakibat fatal pada sistem pemerintahan di Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakatnya. Secara umum ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya. Namun demikian secara lebih mendalam masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu kekhawatiran itu munculnya usaha judicial review dari komponen masyarakat pada Mahkamah Konstitusi terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi yang dimaksudkan.
Hal lain yang masih menjadi pertanyaan adalah pelaksanaan pilkada langsung pada daerah-daerah dengan kebijakan publik yang khusus seperti di Nangru Aceh Darussalam (NAD) dan di Papua. Berkaitan dengan adanya pemerintah daerah yang memiliki undang-undang khusus, perlu diterjemahkan lebih lanjut dalam tataran kebijakan yang bersifat politis maupun aspek hukumnya.
Sebagai suatu sistem pemilihan partisipatif yang baru akan dilaksanakan di Indonesia ini, tentunya perlu diperhatikan keunggulan dan kelemahan dari produk kebijakan publik tentang pemilu dalam rekrutmen elit eksekutif lokal ini. Melalui format demokrasi yang sampai saat ini dianggap paling baik dalam memetakan hubungan negara dan rakyatnya baik dalam tataran politik nasional maupun lokal, dapat kita gambarkan keunggulan dan kelemahan pilkada langsung ini.
Keunggulan pilkada langsung ini bisa dilihat dari adanya legitimasi elit eksekutif lokal terpilih berkaitan dengan dukungan rakyat daerah kepadanya ynag sebanding dengan pemilu legislatif daerah yang menjadi satu paket dengan pemilihan DPR dan DPD. Jadi berdasaarkan aspek legitimasi, pilkada langsung merupkan salah satu keunggulan yang siginifikan. Berikutnya adalah berperannya rakyat daerah dalam menentukan langsung pilihannya, tidak mewakilkan pada DPRD seperti pada periode pemilihan kepala daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999. Secara umum pemberian hak politik dalam menentukan elit eksekutif lokal ini merupakan keunggulan dari UU pemerintahan daerah yang baru.
Membatasi terjadinya politik uang dikalangan elit pemerintahan daerah, yang pada waktu pilkada lalu bermuara pada penyelenggranya, yaitu DPRD melalui kepanjangan tangan fraksi. Jadi dimungkinkan melemahnya politik uang tentunya apabila dipenuhi syarat dalam pencalonan dan pemilihannya. Selain itu juga memberikan kesan lebih obyektif.11 Rakyat pemilih juga sudah terbiasa dalam rekrutmen langsung kepala desa. Bahkan baru-baru ini di akhir tahun 2004, kita sudah berhasil dalam melakukan rekrutmen elit eksekutif nasional dalam pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung.
Sedangkan bila dibahas berdasarkan kemungkinan kelemahan yang akan terjadi, kita bisa mendeteksi adanya pengalihan money politics dari lembaga DPRD ke partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Tidak menutup kemungkinan pula terjadinya money politics ini meluas pada komponen-komponen masyarakat lainnya.
Kastorius Sinaga (2003) menyatakan bahwa dalam kerangka sistem negara unitarian tidak dimungkinkan adanya negara dalam negara.12 Artinya bingkai sistem pemerintahan daerah merupakan bagian dari atau subsistem dari sistem pemerintahan nasional. Secara hirarkhi, pemerintah pusat merupakan atasan bagi pemerintahan daerah. Namun demikian akan terjadi tendensi kelemahan dalam peluang intervensi pemerintah pusat dalam pilkada langsung ini. Banyak kalangan akademisi dan LSM yang menengarai warna resentralisasi dalam pesta demokrasi lokal ini. LSM Cetro menyatakan bahwa akan terjadi intevensi pemerintah pusat bila Peraturan Pemerintah sebagai amanat dari UU No. 32 tahun 2004 ini mengatur terlalu banyak KPUD sebagai penyelenggara pilkada langsung di satui sisi dan meniadakan sifat independen, mandiri dan nasional.
Bila dilihat dari sudut pandang penyelenggraan pilkada langsung ini, maka akan terdapat aktor-aktor yang terlibat baik sebagai penyelenggara, penanggung jawab, peserta dan pemilih (voter) yang berbeda ketika pilkada berada ditangan DPRD. Berdasarkan undang-undang yang baru tentang pemerintahan daerah, aktor penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah. Dalam hal ini telah terjadi pemutusan sifat independen, mandiri dan sifat nasionalnya. KPUD ini bertangung jawab pada DPRD. KPUD sebagai lembaga independen dan nasional diserahi tugas seperti penerimaan tugas otonom, hal ini menimbulkan pertanyaan dalam hubungan ketatanegaraan di Indonesia.
DPRD merupakan penanggung jawab Pilkada langsung karena pintu pertanggungjawaban penyelenggaraan berada ditangannya. Penganggaran dan pelaporan pelaksanaan pilkada langsung berada di DPRD. Sementara di lembaga ini terdapat fraksi yang pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan dari partai politik sesuai dengan jenjang hirarkhinya. Tentunya hal ini akan mengakibatkan adanya polarisasi DPRD sebagai lembaga penanggung jawab pilkada langsung di satu sisi dan sebagai kepanjangan partai politik yang melakukan penjaringan calon pasangan kepala daerah. Conflict of interest kemungkinan tidak bisa terhindarkan, dan bila terjadi tentu saja akan mengurangi kadar demokrasi lokal yang partisipatif yang baru mulai dibangun.
Aktor berikutnya adalah elit-elit partai politik dalam hirakhi lokal. Mereka ini merupakan partai politik yang memiliki 15 per sen kursi di DPRD. Parpol ini akan melakukan penjaringan calon pasangan kepala daerah, yang tentu saja memiliki kewenangan penuh untuk meloloskan atau tidak calon pasangan tadi. Hal ini dimungkinkan karena satu-satunya pintu bagi pencalonan pasangan kepala daerah hanya melalui mereka.
Aktor lain dalam pilkada yang sebenarnya merupakan pemegang kedaulatan poitik dalam aras lokal adalah rakyat pemilih. Hak Politik mereka akan sangat menentukan kemenanganan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Jumlah pemilih yang menggunakan haknya secara sah yang mencapai 25 % akan mengantarkan pasanagan calon menjadi elit eksekutif daerah. Lembaga eksekutif daerah juga berperan sebagai fasilitator dalam tahapan persiapan dan pelaksanaan pilkada langsung itu.
Aktor yang berada dalam bayang-bayang secara implisit memunculkan pengaruhnya adalah kelompok pemodal yang mempunyai kepentingan yang bersandar pada sosok pasangan calon yang akan terpilih. Apabila berdasarkan kasus-kasus pemilihan terdahulu yang berada dalam lingkup DPRD, mereka berada di balik dukungan melalui organ DPRD itu, namun untuk pilkada langsung ini, tentunya akan melalukan cara yang berbeda. Tujuan akhirnya menjadikan jagoannya terpilih dan pada gilirannya akan memberikan peluang bagi kepentingannya. Sinyalemen ini mulia berkembang karena dalam pilkada dengan sistem yang berbeda sudah sering terjadi, dimana suara DPRD sebagai wakil rakayat tersisihkan menjadi sekedar wakil kepentingan kaum pemodal ini. Tapi mudah- mudahan dalam pilkada langsung ini, pengaruh mereka tidak ada atau dapat dipersempit ruang geraknya. Perlu kesadaran tinggi sebagai warga negara yang baik, legislator yang baik dan elit partai politik yang baik pula untuk memeranginya.
Dalam pentahapan penyelenggraan pilkada langsung ini, dalam UU No 32 tahun 2004 merunut pada pentahapan pemilihan legislatiuf dan secara khusus pada pemilu presiden. Tahapan dimulai melalui berakhirnya masa jabatan kepala daerah, kemudian ke pendaftaran pemilih, pendaftaran calon peserta pilkada, kampanye dan pemungutan dan pengitungan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan calon terpilih sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di dalamnya termasuk sosialisasi tahapan-tahapan tadi, yang secara garis besar terbagi ke dalam dua tahapan yaitu tahapan persiapand ana tahapan pelaksanaan.
Derajat kepentingan tahapan ini tentunya berbeda-beda diantara aktor-aktor yang berkaitan dengan pilkada langsung ini, bagi pemilih sebagai warga negara yang baik maka tahap pendaftaran pemilih, partsispasi dalam kampanye, dan tahapan pemungutan suara menjadi tiga tahapan penting disamping peka terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh fihak penyelenggara. Bagi KPUD tentunya semua tahapan menjadi penting berkaitan dengan tugas dan kewajiban dalam mensuksekan tugas ke tiganya dalam pilkada langsung ini. Bagi DPRD tentunya juga sangat memperhatikan fungsi sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pilkada langsung ini terutama dalam penetapan anggaran, diferensiasi fungsi lembaga dan sebagai kepanjangan partai politik, juga dalam pemilihan panitia pengawas pemilu. Apabila semua aktor yang terlibat berperan sebagaimana fungsinya masing-masing dalam koridor kebijakan publik yang berlaku, maka diharapkan pilkada langsung yang akan dislenggarakan di setengah pemda propinsi dan di 108 pemda kabupaten dan kota di seluruh Indonesia pada tahun 2005 ini, akan menjadi tonggak sejarah perkembangan demokrasi lokal dan tentunya akan melenglkapi dua pemilu sebelumnya yang secara umum berhasil dengan baik.

G. PARTISIPASI POLITIK
Pilkada langsung yang akan diselenggrakan mulai tahun 2005 ini, tidak akan terlepas dari pentingnya partisipasi politik rakyat. Kalaupun tidak ada batasna yang jelas bahwa jumlah pemilih yang menggunakan haknya secara sah sebagai indikator keberhasilan pemilu tersebut, namun kita bisa melihat derajat partispasi politik sebagai respon atas pentingnya rekrutmen politik elit daerah.
Banyak batasan yang diberikan oleh ahli-ahli politik dalam literatur-literaturnya. Salah satu definisi Partisipasi politik yang berkaitan dengan pilkada langsung ini dapat dilihat dari pendapatnya Miriam Budiardjo (1994) yang menayatakan bahwa “Kegiatan individu atau kelompok secara aktif dalam kehidupan politik , memilih pimpinan negara dan terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik” sebagai batasan dari partisipasi politik.13 Hal senada juga diungkapakan oleh Herbert McClosky yang dikutip oleh Budiardjo (1994) yang berkaitan dengan sifat sukarela dan proses pemilihan penguasa.
Keterlibatan secara sukarela dalam pilkada merupakan indikator positif atau negatifnya rakyat daerah sebagai warga yang mempunyai hak politik sebagai voter. Tentu saja rakyat sebagai waraga negara agar dapat berperan aktif dalam partisipasi politik perlu terpaan pendidikan politik dari berbagai agennya. Tanpa terpaan itu maka sukar untuk mendapatkan kadar partispasi politik yang baik dalam kerangka demokrasi.
Bentuk partispasi politik rakyat daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari berbagai bentuknya, mulai dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis, pengamat, maupun partisipan14 Seperti pada dua pemilu yang lalu maka akan ada prosentasi rakyat yang apolitis dalam arti mereka yang termasuk tak acuh dalam kegitand an proses politik. Di Indonesia,prosentase rakyat yang apolitis masih di bawah 30 % rata-rata. Sementara bentuk pengamat merupakan porsi yang paling banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam proses politik sebatas sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan voter. Sementara dalam bentuk partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai aktivis partai, dan kelompok kepentingan. Sebagai aktivis, pertisipasi politik rakyat sudah mengarah pada derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/ politik.
Sifat sukarela dan terlibat dalam rekrutmen politik serta mempengaruhi kebijakan publik merupakan warna proses politik yang dapat digambarkan dalam pemilu legisltaif adan pemilu presiden secara langsung pada tahun 2004 yang lalu. Hal yang sama juga dpat diprediksikan pada pilkda langsung tahun 2005 nanti. Kenapa ada statemn demikian ? hal ini tidak terlepas dari pengalaman praktis rakyat dalam pemilu langsung tahun 2004 tadi. Dengan tata cara dan tahapan yang relatif sama dengan pemilu presiden diperkirakan partisipasi politiknya juga tidak jauh berbeda. Namun demikian untuk menghindari antiklimaks dari partisipasi politik rtakyat daerah maka perlu media sosialisasi politik termasuk di dalamnya pendidikan politik yang memadai sehingga rakyat daerah akan merespon dalam bentuk pertisipasi politik yang memadai baik dari sudut pandang kualitas mapun kuantitasnya.
Peran partai politik sebagai penyandang fungsi sosialisasi, pendidikan, partisipasi dan rekrutmen politik merupakan media yang sangat efektif dalam memicu partisipasi politik rakyat daerah. Disamping itu, peran KPUD dalam sosialisasi tahapan pilkada langsung juga berpengaruh pada tingkat partisipasi politik dalamap pilkada langsung ini. Terpaan pendidikan politik dari berbagai agen dalam pilkada yang dilakukan dengan baik akan berdampak pada kontribusi partisipasi politik yang baik pula. Peran partai politik yang melakukan penjarinag calon pasangan dengan obyektif dan sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam menentukan pempinan politik daerah, akan menarik minat rakyat daerah untuk berperan serta.

F. KESIMPULAN
Perkembangan demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah sercara langsung merupakan peluang sekaligus tantangan yang perlu pembuktian secara nyata. Bingkai pilkada langsung ini tentunya harus diletakkana dalam asa pemerintahan—desentralisasi dalam korodor sistem negara kesatuan. Hubungan state and society dalam pemerintahan daerah di era refromasi ini merupakan tantangan dalam kehidupan pemerintahan modern Indonesia. Penyelenggaraan pilkada dengan kebijakan publik yang berlandaskan demokrasi yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor secara langsung ataupun tidak langsung akan menghasilkan pemilu yang sesuai dengan tujuannya—penyerahan kedaulatan secara sukarela.
Diharapkan perangkat kebijakan publik yang mendukung dan jelas, tidak adanya benturan antar kebijakan dan badan penyelenggara merupakan salaha satu kunci sukses pilkada langsung. Setiap produk kebijakan publik yang dihasilkan lembaga politik yang dialakukan secara demokratis pun tidak akan terhindar dari pro dan kontar dalam lingkungan internal dan eksternal kebijakan tersebut. Laswell pernah menyatakan bahwa tidak ada satu kebijakanpun yang dapat memeberiak kepuasan bagi seluruh target kebijaka tersebut. Apalagi kalau produk kebijakan itu mengurangi kadar demokratis dalam pembuatan dan pelaksanaannya.
Akhirnya, semoga kebijakan publik yang sudah diputuskan tentang pemerintahan daerah yang di dalammnya mengatur tentang pilkada langsung sebagai amanat dari amandemen UUD 1945 dapat dilaksanakan dan diinterpretasikan dengan baik sehingga tidak mencederai niatnya dalam mengusung demokrasi lokal dalam format desentralisasi betuk devolusi--otonomi daerah. Pilkada langsung ini diharapkan tidak hanya an old one in a new bottle ,tetapi menjadi tonggak perkembangan reformasi politik lokal di Indonesia

Subtansi Peranan Partai Politik Pada Pilkada
Salah satu pilar demokrasi adalah keberadaan partai politik karena pemilihan umum yang yang menjadi kunci bagi demokrasi tidak akan terselenggara tanpa keberadaan partai politik. partai politik idealnya berfungsi sebagai penyalur aspirasi politik, medium komunikasi dan sosialisasi politik, serta pengendali kontrol konflik yang terjadi pada masyarakat.
Sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang latah dalam berpartai, di mana terjadi kesalahpahaman terhadap alasan dan tujuan berpartai, sehingga subtansi prasyarat demokrasi tidak tercapai. Masyarakat biasanya termotivasi pada sebuah partai bukan karena visi dan misi partai, tetapi cenderung mendukung karena ketertarikan pada tokoh-tokoh tertentu yang menjadi pemimpin partai.
Tidak banyak masyarakat yang mengaku berpartai karena adanya kesamaan ideologi atau tertarik pada visi dan misi partai. Tidak adanya pemberian pemahaman yang rasional dalam memilih partai membuat banyak orang yang kecewa terhadap partai politik, sehingga sistem politik yang diwujudkan saat ini sudah tidak menjadi sebuah jaminan. Apalagi kultur politik dan budaya hukum yang dipertontonkan oleh sebagian para elite politik sebagian sudah terjerembab pada kondisi yang memprihatinkan.
Manajemen partai politik tidak berfungsi seperti yang diharapkan. Partai lalu hanya dijadikan sebagai alat dalam meraih kekuasaan. Partai didirikan seakan-akan sebuah perusahaan yang dijalankan untuk kepentingan bisnis kekuasaan. Akibatnya muncullah budaya politik yang mengarah pada spekulatif dengan berbagai kasus money politik, keinginan menang, memanipulasi suara, perilaku massa yang anarkis, dan perilaku elite oportunis.
Situasi seperti ini yang berpotensi merusak proses pembangunan sistem politik demokratis, oleh karena itu diperlukan sebuah perubahan yang mendasar secara yuridis konstitusional terhadap sistem politik yang dicita-citakan bersama.
Berbagai problematika dalam kaitan antara partai dan konstituen terjadi, misalnya kehadiran fenomena baru dalam dinamika politik lokal dalam frame pilkada. Banyaknya calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik besar yang kalah oleh kandidat usungan dari partai kecil, hal ini terjadi karena kecenderungan arah perilaku pemilih memilih kandidat bukan karena kesamaan partai politik, namun lebih pada penekanan pertimbangan figur kandidat.
Subtansi tujuan pilkada langsung juga terkadang tercederai dengan ancaman money politic yang sampai hari ini belum ada aturan tegas yang mengatur tentang money politic, kerapnya terjadi konflik antara konstituen pendukung kepala daerah, sampai disfungsi partai harus mendapatkan perhatian karena jangan sampai pemilihan kepala daerah hanya sekedar eforia demokrasi yang tidak memberi dampak positif pada masyarakat dan tatanan pemerintahan.
Peranan partai politik harusnya bisa lebih tegas dalam mengawal pemilihan kepala daerah langsung agar bisa tercipta konstelasi politik yang lebih dinamis, sehingga eksistensi partai politik dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan pilkada serta partai politik akan dianggap sebagai lembaga politik yang mapan dan layak berkompetisi dalam memperebutkan kekuasaan di pemerintahan.
Jika peranan partai dalam pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi sekedar kendaraan kandidat yang akan ikut bertarung maka rakyat tidak lagi menganggap partai politik hanya sekedar instrumen untuk berkompetisi dalam perebutan kekuasaan dan mereka hanya dijadikan penonton dalam berbagai perilaku dan atraksi parpol yang tidak pernah menyentuh sektor riil masyarakat, tetapi partai politik akan dianggap menjadi artikulator dan agregator kepentingan rakyat. Aspirasi dan kepentingan masyarakat yang begitu beragam dianggap akan sia-sia jika tidak diakomodir dalam sebuah wadah yang mampu menampung dan menyalurkannya. Maka dengan sendirinya pula terbangun eksistensi partai yang kuat dan ditempatkan dalam peranan perantara kepentingan masyarakat dan pemerintahan dalam membuat kebijakan publik.
Karena pencapaian proses demokratisasi yang mapan akan senantiasa terkait dengan partai politik, maka penekanan pada partai politik harus lebih kuat, sehingga partai politik benar-benar menjadi pilar demokrasi, meskipun untuk sampai pada titik dimana partai politik kuat dan mandiri tidak mudah dengan proses instant.
Ke depan diharapkan partai politik lebih bisa menjalankan peranannya pada setiap proses demokrasi, sehingga partai politik tidak sekedar memfokuskan diri pada perebutan kekuasaan saja. Sehingga peranan partai politik bisa tercapai sebagai sarana komunikasi antara masyarakat dan pemerintah, medan sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik, serta bisa menjadi sosial control dalam menghadapi konflik yang berasal pada terbentuknya budaya politik demokrasi yang lebih dewasa.
Pemilihan Kepala daerah secara langsung akan menjadi medan pembuktian bagi partai politik untuk menunjukkan performa yang bagus untuk mendorong sifat rasionalitas pemilih menuju budaya politik demokratis, dan semoga kelak parpol bisa mengarahkan pemilih pada pertimbangan rasional, seperti kualifikasi track record, kapabilitas, dan program calon kepala daerah, dan tidak lagi partai politik primordial yang mendorong masyarakat memilih karena atas pertimbangan hubungan agama, suku, dan kesamaan budaya.

TUGAS V SOSPOL

Struktur Politik

1.Kelompok elite & ciri khas / asas-asas umum pada elite politik
2.Kelompok kepentingan
3.Kelompok Birokrasi
4.MAS

Perangkat hukum formal yang mengatur proses politik di Indonesia banyak dikritik karena tidak mengakomodir kepentingan-kepentingan demokrasi yang sesungguhnya. Keterwakilan yang semu, rule of law yang bengkok, tiadanya kendali warga/konstituen dalam pengambilan kebijakan publik, bangkitnya fundamentalisme pasar dan keyakinan adalah contoh dari penampikan atas prinsip-prinsip demokrasi. Lembaga-lembaga politik formal relatif tetap dikuasai oleh elit-elit politik lama yang memonopoli, memanfaatkan, dan menyalahgunakannya demi kepentingan sendiri (DEMOS, 2005). Sebagai akibatnya, proses demokrasi mengalami stagnasi.
Partai politik adalah salah satu institusi demokrasi yang penting dan saat ini sumber stagnasi demokrasi itu sendiri. Penting, bukan saja karena fungsi-fungsi yang diembannya tapi secara legal formal merupakan intitusi yang memiliki legitimasi untuk berkompetisi dalam arena demokrasi prosedural di Indonesia. Kandidat independen meski telah mendapat alas legal yang kuat (melalui keputusan MA) namun masih membutuhkan waktu untuk berjalan secara penuh. Aturan formal menyatakan bahwa hanya partai politik yang dapat berkompetisi dalam pemilihan umum, pemilihan presiden, dan juga pilkada. UU Partai Politik No 31 tahun 2002 sebagai aturan hukum yang menjadi landasan gerak partai politik yang ada di Indonesia.

Politik adalah suatu proses dimana masyarakat memutuskan bahwa aktivitas tertentu adalah lebih baik dari yang lain dan harus dilaksanakan. Dengan demikian struktur politik meliputi baik struktur hubungan antara manusia dengan manusia maupun struktur hubungan antara manusia dengan pemerintah. Selain itu, struktur politik dapat merupakan bangunan yang nampak secara jelas (kengkret) dan yang tak nampak secara jelas. Hal ini dapat terlihat dari contoh-contoh sebagai berikut:
a)faktor-faktor yang bersifan informal (tidak atau kurang resmi) yang dalam kenyataan mempengaruhi cara kerja aparat masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan, mengkonversi tuntutan, dukungan, dan masalah tertentu dimana tersangkut keputusan yang berhubungan dengan kepentingan umum.
b)Lembaga yang dapat di sebut sebagai mesin politik resmi atau formal, yang dengan absah mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan menjalankan segala keputusan yang mengikat seluruh anggota masyarakat untuk mencapai kepentingan umum.
Kemudian untuk mempertjam daya analisa, ada baiknya di uraikan beberapa istilah pokok yang diutarakan oleh, misalnya Talcott Parson : pelaku (actor); G.A.Almond : peranan (roles) dan struktur, dalam pengertian yan tidak terpisahkan dari fungsinya; sedangkan David Easton lebih cenderung mewarnai seluruh uraiannya dengan proses atau interaksinya.
Ketiga sarjana di atas menekankan satu sisi yang menurut pengamatan mereka sangat mendasari pembahasan sistem politik. Bila penekanan pada 3 faktor tersebut di atas dipakai, diperkirakan ketiganya akan saling melengkapi.

1)Golongan Kepentingan : Anomik, Asosiasional, Nonasosional
Mahasiswa dan Angkatan Muda
Melihat sejarah politik Indonesia, lebih-lebih sejarah pergerakkan kemerdekaan, tak dapat di sangkal lagi bahwa gerakan angkatan muda pada ”era”nya selalu dilandasi idealisme. Oleh karena itu angkatan muda sebagai salah satu pengelompokan umur, khususnya mahasiswa, relatif mempunyai kematangan umur dan bekal pengetahuan, selalu merupakan kekuatan moral dalam saat kritis,sehingga dapat pula disebut sebagai golongan kepentingan anomik (anomic interest group). Karena landasannya kekuatan mmoral, kekuatan lainnya sering terpanggil dan terlibat atau melibatkan diri untuk bersama-sama memanifestasikan sikapnya dalam menghadapi berbagai masalah; maka dengan demikian terjadilah integrasi antarkekuatan. Terbukti dari proses peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, kekuatan moral mahasiswa, khususnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), berhasil mengadakan perubahan terhadap Sistem Politik Indonesia ketika itu.

2)Alat Komunikasi Massa
Abad ke-20 ini boleh dikatakan abad Komunikasi. Komunikasi fisik maupun kejiwaan meningkat, seiring dengan kemajuan teknologi. Tetapi sebenarnya komunikasi tersebut lebih dahulu dikenal sebagai bersifat sosial dalam arti berlangsung dalam pergaulan manusia dan baru kemudian berkembag secara teknologis. Surat kabar, radio, televisi adalah wahana untuk menyampaikan informasi ke seluruh penjuru, sesuai dengan kemajuan teknologinya dan juga sesuai dengan maksud manusia yang mengorganisasinya, sehingga untuk beberapa segi proses belajar tehadap pola-pola kejadian politik misalnya, menjadi masyarakat. Disinilah letaknya fungsi dan peranan media massa serta para pengorganisasinya dalam kehidupan politik. Dengan demikian, yang perlu dicatat disini ialah bahwa sepanjang sejarah politik Indonesia terlihat bahwa yang menjadipemegang kekuasaan politik, secara berurut, ialah: (1) partai-partai politikyang pada hakikatnya empat besar dalam tahun 50-an, (2) tokoh politik Soekarno, dan (3) kelompok pendesak dan kelompok kepentingan institusional; sedangankan komponen sisanya hanya mengikuti pola pokok yang diperankan para pemegang kekuasaan politik pada masanya.
Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik. Ketika berbicara struktur politik maka yang akan diperbincangkan adalah tentang mesin politik sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan jenisnya mesin politik terbagi dua yaitu :

1. Mesin politik Informal
- Pengelompokan atas persamaan sosial ekonomi
• Golongan petani merupakan kelompok mayoritas (silent majority)
• Golongan buruh
• Golongan Intelegensia merupakan kelompok vocal majority
- Persamaan jenis tujuan seperti golongan agama, militer, usahawan, atau seniman
- Kenyataan kehidupan politik rakyat seperti partai politik, tokoh politik, golongan kepentingan dan golongan penekan.

2. Mesin politik formal
Mesin politik formal berupa lembaga yang resmi mengatur pemerintahan yaitu yang tergabung dalam trias politika :
- Legislatif
- Eksekutif
- Yudikatif

Fungsi Politik :

1.Pendidikan politik
2.Mempertemukan kepentingan atau mengakomodasi dan beradaptasi
3.Agregasi kepentingan yaitu menyalurkan pendapat masyarakat kepada penguasa, disini penyalurnya berarti pihak ketiga
4.Seleksi kepemimpinan
5.komunikasi politik yaitu masyarakt mengemukakan langsung pendapatnya kepada penguasa demikian pula sebaliknya.

TUGAS IV SOSPOL

1. Fungsi Politik antara lain :

> Sosiologi Politik

Terdapat beberapa definisi tentang sosiologi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh
sosiologi. Benang merahnya adalah bahwa sosiologi pada dasarnya memusatkan
perhatiannya pada masyarakat dan individu, karena menurut sosiologi, masyarakat sebagai
tempat interaksi tindakan-tindakan individu di mana tindakan tersebut dapat
mempengaruhi masyarakat. Sosiologi juga memahami tentang lembaga sosial dan kelompok
sosial yang merupakan bagian dari masyarakat sebagai unit analisis sosiologi. Selain itu
sosiologi juga mempelajari tentang tatanan sosial serta perubahan sosial.

Politik berkaitan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapainya tujuan bersama
yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut
dapat terlaksana. Perlu untuk dipahami bahwa tujuan yang telah ditentukan tersebut
merupakan tujuan publik dan bukannya tujuan individu. yang tinggi, cenderung homogen dalam pilihan politik,ditambah dengan tingkat kohesi
keluarganya yang cukup tinggi, kecenderungan seorang anak untuk berpartisipasi dalam
politik sebagaimana kehidupan politik keluargannya relatif tinggi.


Aspek-aspek kehidupan keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi partisipasi politik seorang anak, diantaranya karena:
a. Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang anak
b. Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) politik orang tua
c. Tingkat keutuhan (cohesiveness) keluarga
d. Tingkat minat orang tua terhadap politik
e. Proses sosialisasi politik keluarga

>Komunikasi Politik

Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara yang memerintah dan yang diperintah. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR.

Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.

>Stratifikasi Politik

Stratifikasi Politik

1. Pembuat Keputusan
Pembuat keputusan merupakan individu atau kelompok yang memiliki tingkatan paling atas dalam stratifikasi politik dan terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan maupun keputusan.
Contoh :
- MPR
- DPR
- Presiden

2. .Kaum Berpengaruh
Kaum berpengaruh merupakan Individu yang tidak terlibat secara langsung namun memiliki karisma atau di percaya oleh masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan maupun keputusan.
Contoh :
- Tokoh masyarakat
- Alim Ulama

3. Aktivis
Aktivis merupakan sekelompok individu yang aktif dalam kegiatan politik dan juga membantu dalam pelaksanaan kegiatan politik.
Contoh :
- Mahasiswa
- Anggota politik

4. Publik Peminat Politik
Individu – individu atau kelompok yang berminat pada dunia politik.
Contoh :
- Partai politik

5. Kaum Pemilih
Individu yang mempunyai hak untuk memilih dan berpartisipasi dalam pemilihan politik.
Contoh :
- Masyarakat umum yang berkriteria khusus

6. Non Partisipan
Individu atau kelompok yang belum memenuhi kriteria-kriteria yang di tentukan oleh stratifikasi paling atas dan para individu yang sudah memilki kriteria pemilih namun tidak menggunakannya.

Contoh :
- WNA
- Anak-anak
- Golongan putih (golput)

TUGAS 3 SOSPOL

Bentuk Sistem Politik Indonesia sesuai UUD 1945

A. Pengertian sistem politik
1. Pengertian Sistem. Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.
2. Pengertian Politik. Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota.

Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam negara/kehidupan negara. Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan. Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan negara dan hubungan negara dengan negara.
SISTEM POLITIK menurut Rusadi Kartaprawira adalah mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng.
Sistem Politik Indonesia

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik.

Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.

Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Perwakilan
7. Sistem peemrintahan presidensiil

Undang-undang Dasar 1945

Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga tertinggi negara dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota.

Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan pengadilan, pengawasan, pengaturan, member nasehat, dan fungsi adminsitrasi.

Saat ini UUD 1945 dalam proses amandemen, yang telah memasuki tahap amandemen keempat. Amandemen konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap tugas dan hubungan lembaga-lembaga negara.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Fungsi pokok MPR selaku lembaga tertinggi negara adalah menyusun konstitusi negara, mengangkat dan memberhentikan presiden/wakil presiden; dan menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Fungsi pokok MPR yang disebut di atas dapat berubah bergantung pada proses amandemen UUD 1945 yang sedang berlangsung. Jumlah anggota MPR adalah 700 orang, yang terdiri atas 500 anggota DPR dan 200 anggota Utusan Golongan dan Utusan Daerah, dengan masa jabatan lima tahun.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Selaku lembaga legislatif, DPR berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan dan bersama-sama dengan pemerintah menyusun Undang-undang. Jumlah anggota DPR adalah 500 orang, yang dipilih melalui Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali.

Presiden/Wakil Presiden
Presiden Republik Indonesia memegang pemerintahan menurut UUD 1945 dan dalam melaksanakan kewajibannya, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam system politik Indonesia, Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Presiden juga berkedudukan selaku mandataris MPR, yang berkewajiban menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan MPR. Presiden mengangkat menteri-menteri dan kepala lembaga non departemen (TNI/Polri/Jaksa Agung) setingkat menteri untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
Dalam UUD 1945 (versi sebelum amandemen) disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Mahkmah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah pelaksana fungsi yudikatif, yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski penunjukan para hakim agung dilakukan Presiden.

Lembaga Tinggi Negara Lainnya
Lembaga tinggi negara lainnya adalah Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Fungsi utama BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan pemerintah. Temuan-temuan BPK dilaporkan ke DPR, selaku badan yang menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
DPA berfungsi untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Presiden yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara, termasuk dalam masalah politik, ekonomi, social budaya, dan militer. DPA juga dapat memberi nasehat atau saran atau rekomendasi terhadap masalah yang berkaitan dengan kepentingan negara.

Anggota DPA diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden untuk masa bakti lima tahun. Jumlah anggota DPA adalah 45 orang.

Pemerintah Daerah
Di tingkat daerah, sebuah provinsi dikepalai oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten/kotamadya dikepalai oleh seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 30 provinsi dan 360 kabupaten/kotamadya.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke Kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi.
Hubungan lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama halnya dengan hubungan antarlembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di tingkat daerah diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.