Kasus Gayus Jadi Potret Hancurnya Hukum di Pemerintahan SBY
Jakarta - Sudah tak terhitung, berapa kali Gayus Tambunan mempermalukan para penegak hukum di negeri ini. Kelakuan pegawai Ditjen Pajak ini pun menjadi potret hancurnya hukum di pemerintahan Presiden SBY. "Gayus adalah potret kebobrokan hukum negeri kita di bawah kepemimpinan Yudhoyono," ujar aktivis Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Masardi kepada detikcom, Jumat (7/1/2011). Mantan juru bicara Presiden Gus Dur ini mengatakan, lewat aksi Gayus, publik bisa dengan gamblang melihat bagaimana sebenarnya sistem administrasi dan kontrol keuangan negara kita. Dengan konspirasi yang solid dan terukur, Gayus bisa menjebol brankas negara dengan sangat mudah. Jika ingin melihat bagaimana sistem penegakkan hukum di Indonesia, publik tinggal melihat saja penanganan Gayus. Setelah mengeruk uang rakyat, Gayus memang tertangkap. Namun hukum di Indonesia, lanjut Adhie, tetap saja tidak bisa menjerat dirinya. Tiga penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim ternyata mampu dirangkai menjadi boneka oleh Gayus. Melalui kucuran uang, Gayus dengan mudah mengatur hukum Indonesia. "Dengan keleluasaan Gayus keluyuran ke luar negeri, padahal dia adalah tahanan, menambah kesempurnaan kerusakan hukum karena melibatkan petugas imigrasi," tandasnya.
Selama ditahan di Rutan Brimob, Gayus dengan leluasa keluar masuk sel dengan membayar biaya tertentu. Praktek haram ini baru berakhir setelah penyamarannya ke Bali terbongkar. Saat ini Gayus dipindahkan ke LP Cipinang sedangkan eks Kepala Rutan Brimob Kompol Iwan menjadi pesakitan di Mabes Polri. Dan kini aksi seseorang yang diduga mirip dengan Gayus kembali ramai dibicarakan. Sony Laksono, orang yang sangat mirip dengan Gayus, diketahui pernah terbang ke Macau dan Kuala Lumpur menggunakan paspor palsu. Paspor atas nama Sony Laksono dengan foto pria mirip Gayus Tambunan diendus Kemenkum HAM. Paspor itu ditengarai digunakan oleh pemiliknya untuk melancong ke Macau dan Kuala Lumpur pada September 2010 lalu. Jika benar Gayus pemilik paspor itu, dikhawatirkan tidak ada lagi zona steril korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negeri ini. "Jika benar itu Gayus, menguatkan kekhawatiran, jangan-jangan tidak ada lagi tempat yang bebas atau zona yang seteril dari KKN.
Di ranah administrasi untuk pembuatan dokumen seperti KTP atau paspor saja sudah pernuh dengan KKN, korupsi," kata Direktur Indonesian Legal Roundtable Asep Rahmat Fajar.
Berikut ini wawancara detikcom dengan pria yang juga Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan ini, hiruk pikuk dugaan Gayus Tambunan pelesir merebak lagi. Tanggapan Anda? Hiruk pikuk dugaan kepergian Gayus ke Macau dan Kuala Lumpur ini jangan sampai membuat pengusutan dan penyelesaian kasus yang terkait mafia pajak terkuburkan atau terbengkalai.
Kasus yang membuat hiruk pikuk ini harus tetap ditelusuri. Kalau yang bersangkutan (Gayus) berdalih, itu hak yang dituduh. Namun evidence yang ada kan meskipun disanggah tetapi terang. Apalagi nama Sony Laksono itu kan yang digunakan Gayus waktu ke Bali. Ini ada kaitan yang relatif terang. Itu harus ditelusuri dengan tidak mengesampingkan berbagai kasus yang sudah lebih dulu ada. Jika benar Gayus pergi ke Macau dan KL dengan paspor Sony, menunjukkan begitu bobroknya hukum kita? Jika benar itu Gayus, menguatkan kekhawatiran, jangan-jangan tidak ada lagi tempat yang bebas atau zona yang seteril dari KKN. Di ranah administrasi untuk pembuatan dokumen seperti KTP atau paspor saja sudah pernuh dengan KKN, korupsi. Ini menunjukkan Gayus banyak koneksi? Bagi saya ini menunjukkan administrasi kita, terkait pelaksanaan dan penyelenggaraan, bermasalah. Ada potensi korupsi, kolusi serta penyelewengan wewenang dan kekuasaan. Jika Gayus benar-benar pergi, Anda melihat dia menjalankan suatu misi? Yang dikhawatirkan, yang dilakukan dia itu terkait hal-hal besar. Kita nggak tahu apa yang dilakukan di Macau, apakah dalam rangka mengamankan aset dia atau menutupi berbagai hal. Kalau melihat dari fenomena itu, tidak mungkin dia sendiri. Khawatir ada pihak lain yang terlibat. Ini harus ditelusuri. Saya khawatir dia tidak sekadar jalan-jalan, mungkin lebih dari itu. Bisa jadi dia mengamankan aset atau selesaikan berbagai urusan yang penting terkait proses hukum lainnya. Apakah Anda melihat aparat terlalu fokus pada dugaan 'jalan-jalan Gayus jilid II'? Bahwa hiruk pikuk harus ditindaklanjuti itu iya. Karena ini bisa jadi untuk mendapatkan bukti baru. Jangan sampai menegasikan kasus yang selama ini terkait dengan ini. Jadi sekarang sebaiknya yang berwenang jangan hanya membuat statement, tetapi harus serius menelusuri. Jangan melupakan yang lama karena terlalu fokus di kasus yang baru. Presiden perlu turun tangan? Ya, presiden perlu turun tangan karena punya peran sentral. Turun tangannya bukan sekadar kata-kata, tapi konkret perintahkan untuk penegakan hukum. Langsung saja perintah kejaksaan, kepolisian, kementerian di bawahnya agar cepat ambil tindakan. Kalau hanya bicara tanpa perintah tidak ada gunanya. Soalnya kondisinya sudah kritis. Semua harus betul-betul komit, langsung aksi nyata. Pelajaran apa dari kasus Gayus ini? Yang pasti ada tiga. Pertama, mafia hukum sudah sistemik, seperti saya katakan tadi, jangan-jangan tidak ada zona steril KKN. Kalau ini yang terjadi, maka menjadi lebih berat tugas memberantas mafia hukum, dan karenanya upaya untuk pemberantasannya harus lebih kencang. Kedua, yang namanya aktor mafia hukum tidak hanya di ranah elit seperti pengadilan tetapi juga masuk ke administratif. Seperti itu tadi, penerbitan berbagai surat ataupun kartu yang bisa dipalsukan. Ketiga, untuk menyelesaiakan kasus-kasus semacam ini haruslah cepat. Jangan sampai proses yang lama membuat ada upaya yang sengaja dimasukkan untuk merintangi penegakan hukum sehingga penegakan hukum berjalan tertatih-tatih. Karena itu, penegakan hukum harus cepat dan berkomitmen tinggi. Kalau tidak nanti akan diganggu banyak hal. (vit/fay)
Opini Jaksa Agung, Pemberantasan Korupsi, dan Pertumbuhan
Laporan IMF tahun 2010 tentang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia menunjukkan kenaikan yang berarti bagi bangsa ini. Pasca krisis global, Indonesia dinilai berhasil dan termasuk termaju dibandingkan dengan negara lain.
Namun demikian, yang belum dapat diraih adalah bahwa justru pertumbuhan ekonomi di tingkat makro tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi di tingkat mikro. Akibatnya, pemerataan kesejahteraan tidak tercapai sehingga korupsi marak dan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) gagal. Tata kelola ini hanya dapat dicapai apabila sistem pelayanan birokrasi terhadap kepentingan publik dapat dikelola secara baik dan benar serta bebas KKN. Solusi untuk mencapai kemajuan tersebut salah satunya adalah diterapkannya sistem online di dalam sektor pelayanan publik.
Sistem online telah berhasil menghapuskan KKN di birokrasi, seperti telah berhasil dilaksanakan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dengan sisminbakum. Peringkat Indonesia mencapai urutan ke 44, naik signifikan 10 peringkat pada tahun 2010. Sistem pelayanan online memang memerlukan anggaran yang sangat tinggi dan kualitas teknologi yang memadai, namun dapat diatasi dengan sistem outsourcing penuh dan bekerja sama dengan pihak swasta, mengingat keterbatasan APBN. Dibangunnya sistem online dalam sisminbakum bermula dari kerisauan investor dalam negeri dan asing yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di Tanah Air, namun memiliki ketidakpercayaan (distrust) yang sangat tinggi terhadap integritas, akuntabilitas dan profesionalisme aparatur penegak hukum.
Akibatnya, sering terjadi ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan juga tidak mencerminkan tujuan kemanfaatan. Dalam praktik penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi justru terjadi ketimpangan atas ketiga tujuan tersebut, bahkan tujuan memupuk keuntungan pribadi atau kelompok lebih diutamakan sehingga terjadi pelanggaran hukum dan kode etik profesi yang menghapuskan objektivitas dan akuntabilitas profesionalisme sesuai dengan kaidah undang-undang. Pola yang sudah membaku dalam praktik penegakan hukum saat ini mirip dengan ucapan terkenal, “Le etat cest moi” (ucapanku adalah hukum) di mana hak asasi warga negara diabaikan, protes sosial dilawan melalui kolaborasi dengan pers yang tidak bertanggung jawab, kolaborasi dengan pengacara dan pengusaha hitam.
Berbagai perilaku ini tampak transparan dan tidak sungkan-sungkan sehingga kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi, malah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Untuk mengembalikan situasi menjadi lebih bersih dan bebas KKN, pembentukan Satgas Mafia Hukum bukanlah satu-satunya solusi. Momentum pergantian Jaksa Agung merupakan kesempatan terbaik untuk membalikkan citra negatif pelaku ekonomi nasional dan asing terhadap implementasi penegakan hukum yang lemah. Pelaku ekonomi sangat mengharapkan Jaksa Agung yang baru nantinya sensitif terhadap fluktuasi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal ini pun sesuai dengan tujuan pembangunan hukum yang telah dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 yang menegaskan: ”Pembangunan hukum (termasuk penegakan hukum––pen) diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi terutama dunia usaha dan dunia industri serta menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi terutama perlindungan hukum.”
Sosok Jaksa Agung yang cocok dengan tujuan pembangunan hukum di atas adalah mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan luas tentang peta politik ekonomi nasional dan internasional, selain pengetahuan teoritik dan pengalaman praktik penyelidikan, penyidikan dan penuntutan khususnya dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi. Tampaknya tipe ideal di atas sulit diwujudkan siapa pun karena pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Inpres itu salah satunya menyatakan bahwa sektor pembangunan di bawah koordinasi Menko Polhukam dan salah satu bidang tugasnya ialah pemberantasan korupsi.
Inpres tersebut telah menetapkan target keberhasilan pemberantasan korupsi yaitu sebanyak 1.700 perkara sampai dengan akhir Desember 2010 kepada Kejaksaan Agung. Sistem target dalam praktik lebih banyak mudaratnya karena terkesan Jaksa Agung memaksakan bawahannya mencapai target tersebut. Bahkan jika tidak mencapai jumlah target perkara tertentu, Kajari yang bersangkutan akan terhambat kariernya untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi. Dampak negatif dari sistem ini adalah ekses ”overkriminalisasi” perkara korupsi.Sehingga,muncul perkara dengan nilai hanya satu juta rupiah bisa sampai kasasi.
Selain itu, sistem target juga menyebabkan diskresi penyidik korupsi menjadi lebih besar dan leluasa untuk menetapkan peningkatan penyelidikan kepada tahap penyidikan dan penetapan tersangka, apalagi melibatkan tersangka yang memiliki status sosial tinggi atau jabatan politik. Sistem target dengan ekses negatif di atas terbukti tidak memberikan kontribusi signifikan untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik, terutama pelaku ekonomi untuk melakukan investasinya di Indonesia. Semua ekses negatif akibat sistem target dalam pemberantasan korupsi hanya dapat diatasi oleh Jaksa Agung yang memahami perencanaan pembangunan ekonomi nasional dan target pencapaiannya.
Selain itu, sebaiknya sistem target tersebut dievaluasi kembali karena banyaknya ekses negatif yang tidak diperkirakan sebelumnya. Adalah benar pendapat Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum dan juga penegakan hukum harusnya menjadi sarana menciptakan kesadaran hukum masyarakat secara luas, bukan alat (kekuasaan) semata-mata untuk mendukung pembangunan nasional. Karena itu, Jaksa agung yang baru nantinya tidak hanya memiliki integritas dan akuntabilitas semata-mata melainkan juga calon-calon yang dapat membedakan maslahat dan mudarat tindakan hukum aparaturnya bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Untuk membantu mewujudkan hal ini, diperlukan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu menghapuskan unsur kerugian (keuangan) negara vide Pasal 2 dan Pasal 3, digantikan dengan larangan menerima gratifikasi oleh penyelenggara negara, larangan perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), larangan penggelapan harta kekayaan negara sekecil apapun nilainya, larangan suap bagi penerima (suap pasif) dan pemberi (suap aktif). Semua larangan atas perbuatan tersebut merupakan strategi pencegahan yang andal tanpa perlu menimbulkan gejolak sosial yang tidak perlu. Strategi tersebut harus diperkuat pola perampasan aset dalam tindak pidana pencucian uang.
Semua larangan tersebut hanya akan berlaku efektif jika laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHKPN) segera ditindaklanjuti klarifikasi oleh divisi pencegahan KPK dengan menggunakan teknologi modern tanpa perlu menunggu terjadi kasus pada penyelenggara negara yang bersangkutan. Kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi saat ini seharusnya dialihkan dari penindakan kepada strategi pencegahan, yaitu dengan memperkuat ketegasan dan komitmen aparatur hukum dan presiden dalam implementasi perbuatan yang dilarang tersebut di atas.
Saat ini dalam agenda legislasi Tahun 2010/2011 telah dipersiapkan rancangan undang-undang tentang perampasan aset tindak pidana, suatu UU yang diharapkan memperkuat strategi penindakan dari pada pencegahan dengan tujuan utama merampas dan mengembalikan aset negara yang hilang karena tindak pidana korupsi. Sudah saatnya politik hukum pemberantasan korupsi dititikberatkan pada strategi pencegahan yang harus dilaksanakan secara konsisten dan tanpa campur tangan pihak manapun. Strategi itu perlu diperkuat dengan perampasan aset hasil tindak pidana atas dasar hukum acara pembuktian terbalik murni terhadap aset-aset yang diduga kuat (sekurang-kurangnya dua alat bukti) adalah hasil tindak pidana melalui tuntutan secara keperdataan.
Strategi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dibandingkan dengan strategi penindakan dengan cara penghukuman dan pengembalian kerugian keuangan negara secara kumulatif––yang terbukti lebih banyak mudarat dari maslahatnya––kecuali hanya sekadar merupakan tontonan dalam “selebrity show” saja. Bahkan secara kuantitatif, rasio antara uang negara yang dikembalikan jauh lebih kecil dan tidak signifikan dari anggaran negara yang telah dikeluarkan untuk memburu uang negara dengan segala fasilitas yang diperlukannya.
Kondisi ini diperparah dengan praktik penegakan hukum yang selektif dan diskriminatif yang semakin jauh dari kepastian hukum, keadilan dan juga kemanfaatannya. Negara ini ke depannya memerlukan Jaksa Agung yang berani melakukan langkah-langkah strategi pencegahan progresif yang meningkatkan kemaslahatan bagi bangsa ini daripada mempertontonkan “keberhasilan semu dan bias” yang bersifat kontraproduktif untuk pembangunan ekonomi nasional.(*)
Bermunculannya makelar kasus hukum dan pajak, bukan semata-mata disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Minimnya impelementasi akibat terlalu banyaknya aturan, dianggap sebagai cikal bakal menjamurnya makelar kasus.
“Tinggal implementasi. Intinya hukum kita belum efektif, penegakan hukumnya belum diterapkan sehingga tidak membuat jera pelakunya. Over regulasi, karena banyak sekali aturan yang dibuat,” jelas ahli hukum pajak Universitas Indonesia Tri Hayati.
Penegakan hukumnya, kata Tri, harus dikembalikan ke Polri dan lembaga hukum lainnya. Meskipun Tri mengakui, Indonesia sebagai negara berkembang, salah satu cirinya adalah penegakan hukum yang sangat lemah dalam berbagai aspek, tak terkecuali bidang pajak. "Kelemahan sudah di struktural, artinya birokrasinya yang harus dirombak termasuk struktur sistemnya," terang dia. Mengenai menggejalanya makelar kasus pajak, menurut Tri, pegawai-pegawai Dirjen Pajak memang mulai memanfaatkan celah hukum yang ada. "UU Pajak dengan banyak perubahan dan turunannya bikin multitafsir dan membingungkan," katanya. Selain itu, aturan pelaksanaan yang sangat dinamis menyebabkan penyimpangannya cukup besar. Banyak aturan pelaksana yang melanggar asas. Bahkan, ada aturan Menteri atau Dirjen Pajak yang melebihi UU. Inilah yang dimanfaatkan para pengemplang pajak, dan KKN orang dalam. "Ada keputusan Dirjen Pajak yang justru membuat kebijakan pemutihan bagi pengemplang pajak. Ini benar-benar merugikan uang negara karena masuk penggelapan," ungkap dia.
Dalam pandangan guru besar hukum pajak UI ini, tidak hanya di instansi hukum dan pajak saja yang rentan mafia, bahkan hingga lembaga paling bawah sekalipun rawan dimanfaatkan markus. Hal ini, kata Tri, kembali pada lemahnya pengawasan.
Menurut Tri, adanya sindikasi di perpajakan yang sudah menjadi rahasia umum, hampir separuh uang pajak habis dimakan mafia. "Uang pajak ini bocornya hampir separuh," paparnya.
Pengawasan seperti apa? “Kembali lagi, interen inspektorat jendral, interen, eksteren juga bisa menembus masuk, mafia pajak bahaya benar. KPK, BPK, juga harus tembus,” pungkasnya.
(ded)
KESIMPULAN
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia sepertinya sudah mendarah daging dengan hampir semua aparatur negaranya, tidak hanya dari kalangan rendah institusi pemerintahan saja bahkan menjalar ke sektor elite pemerintahan, dimana standar gaji yang mereka dapatkan sangatlah tidak sesuai dengan sumbangsih pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan pelayanan yang lebih baik daripada pelayanan yang berjalan selama ini. Moral yang sudah rusak selama ini hendaklah dapat lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah di Indonesia, tapi bukan hanya untuk diperhatikan saja melainkan diurusi hingga tuntas dan bangsa ini dapat merasakan keadilan bagi dirinya. KKN dapat diselesaikan dengan membangun akhlak dari setiap individu yang selama ini telah merusak sistem yang ada didalam pemerintahan kita selama ini.
Jakarta - Sudah tak terhitung, berapa kali Gayus Tambunan mempermalukan para penegak hukum di negeri ini. Kelakuan pegawai Ditjen Pajak ini pun menjadi potret hancurnya hukum di pemerintahan Presiden SBY. "Gayus adalah potret kebobrokan hukum negeri kita di bawah kepemimpinan Yudhoyono," ujar aktivis Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Masardi kepada detikcom, Jumat (7/1/2011). Mantan juru bicara Presiden Gus Dur ini mengatakan, lewat aksi Gayus, publik bisa dengan gamblang melihat bagaimana sebenarnya sistem administrasi dan kontrol keuangan negara kita. Dengan konspirasi yang solid dan terukur, Gayus bisa menjebol brankas negara dengan sangat mudah. Jika ingin melihat bagaimana sistem penegakkan hukum di Indonesia, publik tinggal melihat saja penanganan Gayus. Setelah mengeruk uang rakyat, Gayus memang tertangkap. Namun hukum di Indonesia, lanjut Adhie, tetap saja tidak bisa menjerat dirinya. Tiga penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim ternyata mampu dirangkai menjadi boneka oleh Gayus. Melalui kucuran uang, Gayus dengan mudah mengatur hukum Indonesia. "Dengan keleluasaan Gayus keluyuran ke luar negeri, padahal dia adalah tahanan, menambah kesempurnaan kerusakan hukum karena melibatkan petugas imigrasi," tandasnya.
Selama ditahan di Rutan Brimob, Gayus dengan leluasa keluar masuk sel dengan membayar biaya tertentu. Praktek haram ini baru berakhir setelah penyamarannya ke Bali terbongkar. Saat ini Gayus dipindahkan ke LP Cipinang sedangkan eks Kepala Rutan Brimob Kompol Iwan menjadi pesakitan di Mabes Polri. Dan kini aksi seseorang yang diduga mirip dengan Gayus kembali ramai dibicarakan. Sony Laksono, orang yang sangat mirip dengan Gayus, diketahui pernah terbang ke Macau dan Kuala Lumpur menggunakan paspor palsu. Paspor atas nama Sony Laksono dengan foto pria mirip Gayus Tambunan diendus Kemenkum HAM. Paspor itu ditengarai digunakan oleh pemiliknya untuk melancong ke Macau dan Kuala Lumpur pada September 2010 lalu. Jika benar Gayus pemilik paspor itu, dikhawatirkan tidak ada lagi zona steril korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negeri ini. "Jika benar itu Gayus, menguatkan kekhawatiran, jangan-jangan tidak ada lagi tempat yang bebas atau zona yang seteril dari KKN.
Di ranah administrasi untuk pembuatan dokumen seperti KTP atau paspor saja sudah pernuh dengan KKN, korupsi," kata Direktur Indonesian Legal Roundtable Asep Rahmat Fajar.
Berikut ini wawancara detikcom dengan pria yang juga Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan ini, hiruk pikuk dugaan Gayus Tambunan pelesir merebak lagi. Tanggapan Anda? Hiruk pikuk dugaan kepergian Gayus ke Macau dan Kuala Lumpur ini jangan sampai membuat pengusutan dan penyelesaian kasus yang terkait mafia pajak terkuburkan atau terbengkalai.
Kasus yang membuat hiruk pikuk ini harus tetap ditelusuri. Kalau yang bersangkutan (Gayus) berdalih, itu hak yang dituduh. Namun evidence yang ada kan meskipun disanggah tetapi terang. Apalagi nama Sony Laksono itu kan yang digunakan Gayus waktu ke Bali. Ini ada kaitan yang relatif terang. Itu harus ditelusuri dengan tidak mengesampingkan berbagai kasus yang sudah lebih dulu ada. Jika benar Gayus pergi ke Macau dan KL dengan paspor Sony, menunjukkan begitu bobroknya hukum kita? Jika benar itu Gayus, menguatkan kekhawatiran, jangan-jangan tidak ada lagi tempat yang bebas atau zona yang seteril dari KKN. Di ranah administrasi untuk pembuatan dokumen seperti KTP atau paspor saja sudah pernuh dengan KKN, korupsi. Ini menunjukkan Gayus banyak koneksi? Bagi saya ini menunjukkan administrasi kita, terkait pelaksanaan dan penyelenggaraan, bermasalah. Ada potensi korupsi, kolusi serta penyelewengan wewenang dan kekuasaan. Jika Gayus benar-benar pergi, Anda melihat dia menjalankan suatu misi? Yang dikhawatirkan, yang dilakukan dia itu terkait hal-hal besar. Kita nggak tahu apa yang dilakukan di Macau, apakah dalam rangka mengamankan aset dia atau menutupi berbagai hal. Kalau melihat dari fenomena itu, tidak mungkin dia sendiri. Khawatir ada pihak lain yang terlibat. Ini harus ditelusuri. Saya khawatir dia tidak sekadar jalan-jalan, mungkin lebih dari itu. Bisa jadi dia mengamankan aset atau selesaikan berbagai urusan yang penting terkait proses hukum lainnya. Apakah Anda melihat aparat terlalu fokus pada dugaan 'jalan-jalan Gayus jilid II'? Bahwa hiruk pikuk harus ditindaklanjuti itu iya. Karena ini bisa jadi untuk mendapatkan bukti baru. Jangan sampai menegasikan kasus yang selama ini terkait dengan ini. Jadi sekarang sebaiknya yang berwenang jangan hanya membuat statement, tetapi harus serius menelusuri. Jangan melupakan yang lama karena terlalu fokus di kasus yang baru. Presiden perlu turun tangan? Ya, presiden perlu turun tangan karena punya peran sentral. Turun tangannya bukan sekadar kata-kata, tapi konkret perintahkan untuk penegakan hukum. Langsung saja perintah kejaksaan, kepolisian, kementerian di bawahnya agar cepat ambil tindakan. Kalau hanya bicara tanpa perintah tidak ada gunanya. Soalnya kondisinya sudah kritis. Semua harus betul-betul komit, langsung aksi nyata. Pelajaran apa dari kasus Gayus ini? Yang pasti ada tiga. Pertama, mafia hukum sudah sistemik, seperti saya katakan tadi, jangan-jangan tidak ada zona steril KKN. Kalau ini yang terjadi, maka menjadi lebih berat tugas memberantas mafia hukum, dan karenanya upaya untuk pemberantasannya harus lebih kencang. Kedua, yang namanya aktor mafia hukum tidak hanya di ranah elit seperti pengadilan tetapi juga masuk ke administratif. Seperti itu tadi, penerbitan berbagai surat ataupun kartu yang bisa dipalsukan. Ketiga, untuk menyelesaiakan kasus-kasus semacam ini haruslah cepat. Jangan sampai proses yang lama membuat ada upaya yang sengaja dimasukkan untuk merintangi penegakan hukum sehingga penegakan hukum berjalan tertatih-tatih. Karena itu, penegakan hukum harus cepat dan berkomitmen tinggi. Kalau tidak nanti akan diganggu banyak hal. (vit/fay)
Opini Jaksa Agung, Pemberantasan Korupsi, dan Pertumbuhan
Laporan IMF tahun 2010 tentang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia menunjukkan kenaikan yang berarti bagi bangsa ini. Pasca krisis global, Indonesia dinilai berhasil dan termasuk termaju dibandingkan dengan negara lain.
Namun demikian, yang belum dapat diraih adalah bahwa justru pertumbuhan ekonomi di tingkat makro tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi di tingkat mikro. Akibatnya, pemerataan kesejahteraan tidak tercapai sehingga korupsi marak dan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) gagal. Tata kelola ini hanya dapat dicapai apabila sistem pelayanan birokrasi terhadap kepentingan publik dapat dikelola secara baik dan benar serta bebas KKN. Solusi untuk mencapai kemajuan tersebut salah satunya adalah diterapkannya sistem online di dalam sektor pelayanan publik.
Sistem online telah berhasil menghapuskan KKN di birokrasi, seperti telah berhasil dilaksanakan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dengan sisminbakum. Peringkat Indonesia mencapai urutan ke 44, naik signifikan 10 peringkat pada tahun 2010. Sistem pelayanan online memang memerlukan anggaran yang sangat tinggi dan kualitas teknologi yang memadai, namun dapat diatasi dengan sistem outsourcing penuh dan bekerja sama dengan pihak swasta, mengingat keterbatasan APBN. Dibangunnya sistem online dalam sisminbakum bermula dari kerisauan investor dalam negeri dan asing yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di Tanah Air, namun memiliki ketidakpercayaan (distrust) yang sangat tinggi terhadap integritas, akuntabilitas dan profesionalisme aparatur penegak hukum.
Akibatnya, sering terjadi ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan juga tidak mencerminkan tujuan kemanfaatan. Dalam praktik penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi justru terjadi ketimpangan atas ketiga tujuan tersebut, bahkan tujuan memupuk keuntungan pribadi atau kelompok lebih diutamakan sehingga terjadi pelanggaran hukum dan kode etik profesi yang menghapuskan objektivitas dan akuntabilitas profesionalisme sesuai dengan kaidah undang-undang. Pola yang sudah membaku dalam praktik penegakan hukum saat ini mirip dengan ucapan terkenal, “Le etat cest moi” (ucapanku adalah hukum) di mana hak asasi warga negara diabaikan, protes sosial dilawan melalui kolaborasi dengan pers yang tidak bertanggung jawab, kolaborasi dengan pengacara dan pengusaha hitam.
Berbagai perilaku ini tampak transparan dan tidak sungkan-sungkan sehingga kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi, malah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Untuk mengembalikan situasi menjadi lebih bersih dan bebas KKN, pembentukan Satgas Mafia Hukum bukanlah satu-satunya solusi. Momentum pergantian Jaksa Agung merupakan kesempatan terbaik untuk membalikkan citra negatif pelaku ekonomi nasional dan asing terhadap implementasi penegakan hukum yang lemah. Pelaku ekonomi sangat mengharapkan Jaksa Agung yang baru nantinya sensitif terhadap fluktuasi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal ini pun sesuai dengan tujuan pembangunan hukum yang telah dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 yang menegaskan: ”Pembangunan hukum (termasuk penegakan hukum––pen) diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi terutama dunia usaha dan dunia industri serta menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi terutama perlindungan hukum.”
Sosok Jaksa Agung yang cocok dengan tujuan pembangunan hukum di atas adalah mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan luas tentang peta politik ekonomi nasional dan internasional, selain pengetahuan teoritik dan pengalaman praktik penyelidikan, penyidikan dan penuntutan khususnya dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi. Tampaknya tipe ideal di atas sulit diwujudkan siapa pun karena pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Inpres itu salah satunya menyatakan bahwa sektor pembangunan di bawah koordinasi Menko Polhukam dan salah satu bidang tugasnya ialah pemberantasan korupsi.
Inpres tersebut telah menetapkan target keberhasilan pemberantasan korupsi yaitu sebanyak 1.700 perkara sampai dengan akhir Desember 2010 kepada Kejaksaan Agung. Sistem target dalam praktik lebih banyak mudaratnya karena terkesan Jaksa Agung memaksakan bawahannya mencapai target tersebut. Bahkan jika tidak mencapai jumlah target perkara tertentu, Kajari yang bersangkutan akan terhambat kariernya untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi. Dampak negatif dari sistem ini adalah ekses ”overkriminalisasi” perkara korupsi.Sehingga,muncul perkara dengan nilai hanya satu juta rupiah bisa sampai kasasi.
Selain itu, sistem target juga menyebabkan diskresi penyidik korupsi menjadi lebih besar dan leluasa untuk menetapkan peningkatan penyelidikan kepada tahap penyidikan dan penetapan tersangka, apalagi melibatkan tersangka yang memiliki status sosial tinggi atau jabatan politik. Sistem target dengan ekses negatif di atas terbukti tidak memberikan kontribusi signifikan untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik, terutama pelaku ekonomi untuk melakukan investasinya di Indonesia. Semua ekses negatif akibat sistem target dalam pemberantasan korupsi hanya dapat diatasi oleh Jaksa Agung yang memahami perencanaan pembangunan ekonomi nasional dan target pencapaiannya.
Selain itu, sebaiknya sistem target tersebut dievaluasi kembali karena banyaknya ekses negatif yang tidak diperkirakan sebelumnya. Adalah benar pendapat Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum dan juga penegakan hukum harusnya menjadi sarana menciptakan kesadaran hukum masyarakat secara luas, bukan alat (kekuasaan) semata-mata untuk mendukung pembangunan nasional. Karena itu, Jaksa agung yang baru nantinya tidak hanya memiliki integritas dan akuntabilitas semata-mata melainkan juga calon-calon yang dapat membedakan maslahat dan mudarat tindakan hukum aparaturnya bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Untuk membantu mewujudkan hal ini, diperlukan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu menghapuskan unsur kerugian (keuangan) negara vide Pasal 2 dan Pasal 3, digantikan dengan larangan menerima gratifikasi oleh penyelenggara negara, larangan perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), larangan penggelapan harta kekayaan negara sekecil apapun nilainya, larangan suap bagi penerima (suap pasif) dan pemberi (suap aktif). Semua larangan atas perbuatan tersebut merupakan strategi pencegahan yang andal tanpa perlu menimbulkan gejolak sosial yang tidak perlu. Strategi tersebut harus diperkuat pola perampasan aset dalam tindak pidana pencucian uang.
Semua larangan tersebut hanya akan berlaku efektif jika laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHKPN) segera ditindaklanjuti klarifikasi oleh divisi pencegahan KPK dengan menggunakan teknologi modern tanpa perlu menunggu terjadi kasus pada penyelenggara negara yang bersangkutan. Kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi saat ini seharusnya dialihkan dari penindakan kepada strategi pencegahan, yaitu dengan memperkuat ketegasan dan komitmen aparatur hukum dan presiden dalam implementasi perbuatan yang dilarang tersebut di atas.
Saat ini dalam agenda legislasi Tahun 2010/2011 telah dipersiapkan rancangan undang-undang tentang perampasan aset tindak pidana, suatu UU yang diharapkan memperkuat strategi penindakan dari pada pencegahan dengan tujuan utama merampas dan mengembalikan aset negara yang hilang karena tindak pidana korupsi. Sudah saatnya politik hukum pemberantasan korupsi dititikberatkan pada strategi pencegahan yang harus dilaksanakan secara konsisten dan tanpa campur tangan pihak manapun. Strategi itu perlu diperkuat dengan perampasan aset hasil tindak pidana atas dasar hukum acara pembuktian terbalik murni terhadap aset-aset yang diduga kuat (sekurang-kurangnya dua alat bukti) adalah hasil tindak pidana melalui tuntutan secara keperdataan.
Strategi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dibandingkan dengan strategi penindakan dengan cara penghukuman dan pengembalian kerugian keuangan negara secara kumulatif––yang terbukti lebih banyak mudarat dari maslahatnya––kecuali hanya sekadar merupakan tontonan dalam “selebrity show” saja. Bahkan secara kuantitatif, rasio antara uang negara yang dikembalikan jauh lebih kecil dan tidak signifikan dari anggaran negara yang telah dikeluarkan untuk memburu uang negara dengan segala fasilitas yang diperlukannya.
Kondisi ini diperparah dengan praktik penegakan hukum yang selektif dan diskriminatif yang semakin jauh dari kepastian hukum, keadilan dan juga kemanfaatannya. Negara ini ke depannya memerlukan Jaksa Agung yang berani melakukan langkah-langkah strategi pencegahan progresif yang meningkatkan kemaslahatan bagi bangsa ini daripada mempertontonkan “keberhasilan semu dan bias” yang bersifat kontraproduktif untuk pembangunan ekonomi nasional.(*)
Bermunculannya makelar kasus hukum dan pajak, bukan semata-mata disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Minimnya impelementasi akibat terlalu banyaknya aturan, dianggap sebagai cikal bakal menjamurnya makelar kasus.
“Tinggal implementasi. Intinya hukum kita belum efektif, penegakan hukumnya belum diterapkan sehingga tidak membuat jera pelakunya. Over regulasi, karena banyak sekali aturan yang dibuat,” jelas ahli hukum pajak Universitas Indonesia Tri Hayati.
Penegakan hukumnya, kata Tri, harus dikembalikan ke Polri dan lembaga hukum lainnya. Meskipun Tri mengakui, Indonesia sebagai negara berkembang, salah satu cirinya adalah penegakan hukum yang sangat lemah dalam berbagai aspek, tak terkecuali bidang pajak. "Kelemahan sudah di struktural, artinya birokrasinya yang harus dirombak termasuk struktur sistemnya," terang dia. Mengenai menggejalanya makelar kasus pajak, menurut Tri, pegawai-pegawai Dirjen Pajak memang mulai memanfaatkan celah hukum yang ada. "UU Pajak dengan banyak perubahan dan turunannya bikin multitafsir dan membingungkan," katanya. Selain itu, aturan pelaksanaan yang sangat dinamis menyebabkan penyimpangannya cukup besar. Banyak aturan pelaksana yang melanggar asas. Bahkan, ada aturan Menteri atau Dirjen Pajak yang melebihi UU. Inilah yang dimanfaatkan para pengemplang pajak, dan KKN orang dalam. "Ada keputusan Dirjen Pajak yang justru membuat kebijakan pemutihan bagi pengemplang pajak. Ini benar-benar merugikan uang negara karena masuk penggelapan," ungkap dia.
Dalam pandangan guru besar hukum pajak UI ini, tidak hanya di instansi hukum dan pajak saja yang rentan mafia, bahkan hingga lembaga paling bawah sekalipun rawan dimanfaatkan markus. Hal ini, kata Tri, kembali pada lemahnya pengawasan.
Menurut Tri, adanya sindikasi di perpajakan yang sudah menjadi rahasia umum, hampir separuh uang pajak habis dimakan mafia. "Uang pajak ini bocornya hampir separuh," paparnya.
Pengawasan seperti apa? “Kembali lagi, interen inspektorat jendral, interen, eksteren juga bisa menembus masuk, mafia pajak bahaya benar. KPK, BPK, juga harus tembus,” pungkasnya.
(ded)
KESIMPULAN
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia sepertinya sudah mendarah daging dengan hampir semua aparatur negaranya, tidak hanya dari kalangan rendah institusi pemerintahan saja bahkan menjalar ke sektor elite pemerintahan, dimana standar gaji yang mereka dapatkan sangatlah tidak sesuai dengan sumbangsih pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan pelayanan yang lebih baik daripada pelayanan yang berjalan selama ini. Moral yang sudah rusak selama ini hendaklah dapat lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah di Indonesia, tapi bukan hanya untuk diperhatikan saja melainkan diurusi hingga tuntas dan bangsa ini dapat merasakan keadilan bagi dirinya. KKN dapat diselesaikan dengan membangun akhlak dari setiap individu yang selama ini telah merusak sistem yang ada didalam pemerintahan kita selama ini.